Peran Kunci Komunitas Menangkal Kejamnya Diskriminasi Orang dengan HIV/AIDS

Peran Kunci Komunitas Menangkal Kejamnya Diskriminasi Orang dengan HIV/AIDS

TL;DR
-Komunitas berperan penting untuk menurunkan stigma orang dengan HIV/AIDS dan membantu mereka agar tak putus obat.

-ARV, obat dari HIV/AIDS disediakan gratis, sehingga bila tidak putus obat, harapan hidup dan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS sangat tinggi.

-Saat ini baru 76% ODHIV di Indonesia yang mengetahui status HIV-nya, hanya 45 % ODHIV yang diobati, dan 46% ODHIV yang diobati mengalami supresi virus.


Rosma Karlina, sudah sejak lama memiliki keinginan untuk menyatukan pengguna narkotika, psikotropika, dan obat terlarang (NAPZA) agar mereka dapat saling mengedukasi dan menguatkan satu sama lain. Plus, menurunkan stigma dan diskriminasi pada populasi kunci dan orang dengan HIV/AIDS (ODHIV). 

Populasi kunci  adalah kelompok tertentu yang karena perilaku berisiko tinggi, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap HIV. Populasi kunci terdiri dari wanita penjaja seks (WPS), lelaki seks lelaki (LSL), waria, pengguna narkoba suntik (penasun), pasien TB hamil, warga binaan pemasyarakatan (WBP), serta orang dengan pasangan positif HIV.

Akhirnya, pada tahun 2022 Rosma membentuk Womxn’s Voice dan merekrut tiga rekannya dalam melakukan gerakan tersebut. Rosma sendiri menjabat sebagai Direktur Womxn’s Voice.

Womxn’s Voice atau Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN) merupakan organisasi perempuan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) berbasis komunitas pertama di Indonesia. Komunitas tersebut berfokus pada penghapusan kekerasan dan mewujudkan penegakan hak asasi perempuan pengguna NAPZA agar dihormati, dipenuhi, dan dilindungi.

Awalnya Rosma cs membuat kegiatan penyuluhan program and champion. Dalam program tersebut, mereka coba melakukan penyuluhan kepada enam anggota yang terdiri dari populasi kunci seperti riwayat pengguna Napza; pekerja seks; kelompok Lesbian, Gay, Biseks, Transgender (LGBT), ODHIV, hingga pekerja rumah tangga.

“Mulai melatih dan edukasi terkait gender, Napza, hingga ODHIV. Bagaimana meningkatkan kesadaran kritis mereka dan saling menguatkan di lingkaran kita masing-masing. Pokoknya bagaimana kolektif ini bisa kuat dan kokoh,” kata Rosma kepada Deduktif, di Kantor Womxn’s Voice, Bogor, Jawa Barat (14/5/2024).

Dari enam anggota yang dikaderisasi, Rosma meminta mereka turut memberikan edukasi kepada kelompok di ruang lingkup masing-masing. 

Misalnya seorang ODHIV melakukan edukasi kepada kelompok ODHIV lainnya perihal materi yang telah diberikan oleh Womxn Voice. Lalu, membantu para ODHIV untuk mendapatkan akses berobat antiretroviral (ARV) untuk mengendalikan infeksi human immunodeficiency virus (HIV), maupun Metadon.

ODHIV harus terus diingatkan untuk meminum ARV agar tidak loss to follow up (LTFU), yakni kondisi ketidakhadiran pasien HIV/AIDS di klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) dalam waktu 180 hari atau kembali ke klinik VCT setelah sempat tidak berkunjung selama 180 hari.

Sementara Metadon adalah sejenis obat opioid sintetik, digunakan sebagai analgesik dan untuk merawat kecanduan dari pengguna golongan opioid, seperti heroin, morfin dan kodein.

Penyuluhan tersebut terus dilakukan secara masif oleh Rosma cs, mulai dari lingkup kecil seperti taman, pasar, pemukiman, kolong jembatan, hingga aula Puskesmas. Bahkan kini, kolektifnya itu sudah tersebar di lima wilayah: Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Depok, dan Bekasi.

(Masukan gambar 1)

Selain itu, mereka juga diberikan pengetahuan bagaimana melakukan kerjasama dengan stakeholder seperti puskesmas, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA), media, hingga kepolisian.

Mereka bekerjasama untuk membantu akses kesehatan para ODHIV hingga berperan menjadi paralegal ketika terdapat rekannya yang ODHIV mengalami perbuatan dalam hukum.

“Untuk memudahkan kerja-kerja advokasi, kalian harus punya relasi atau hubungan yang baik dengan stakeholder lokal di wilayah masing-masing,” tutur Rosma.


Ketika melakukan penyuluhan, Rosman mengedukasi para ODHIV yang menjalani pengobatan agar secara rutin mengkonsumsi ARV sesuai yang dianjurkan oleh dokter.

Akan tetapi, terdapat sejumlah kendala yang membuat para ODHIV mengalami LTFU. Misalnya, ODHIV yang tidak memiliki biaya untuk pergi ke puskesmas. Atau mereka memiliki uang, tetapi lebih memilih membeli makanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Alhasil, Womxn’s Voice coba menggelar pengobatan gratis kepada para ODHIV dan memberi konsumsi serta biaya pengganti transport supaya mereka bisa hadir. Hal tersebut juga sebagai upaya meminimalisir terjadinya stigma dan diskriminasi, serta LTFU ketika ODHIV melakukan pengobatan.


“Kalau cuma negara nyuruh mereka (ODHIV) minum obat, akses layanan dan lain sebagainya, tanpa ada pemasukan dan dukungan moral dari keluarga atau orang terdekat, itu tidak berarti. Semua harus saling beriringan,” jelas dia.

Kerjasama dengan Puskesmas

Tak sebatas edukasi, Womxn’s Voice juga mengarahkan kepada para kader agar bersama-sama melakukan penyuluhan ke puskesmas di sekitar lingkungan mereka. Sebab, terdapat banyak keluhan dari para populasi kunci ketika mengakses layanan kesehatan. Terutama kepada teman-teman transgender.

Misalnya ketika transpuan datang ke puskesmas, berdandan seperti perempuan. Namun ketika memasuki nomor antrian, petugas puskesmas memanggilnya dengan nama aslinya yang merupakan seorang pria.

“Secara tidak langsung memicu stigma dan diskriminasi. Akhirnya banyak teman-teman yang malas dan tak nyaman datang ke pelayanan puskesmas. Termasuk ODHIV,” ujarnya.

Nahasnya lagi, terdapat cerita pekerja seks yang mengaku malas melakukan konsultasi lagi di puskesmas lantaran mereka disuruh untuk mencari pekerjaan lain. Sementara mereka hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) yang memang kenyataanya sulit mendapatkan pekerjaan.

“Petugas puskesmas itu hanya untuk melayani, tidak perlu mengusik kehidupan pribadinya,” tuturnya.

Akibat tidak mau berobat, kata Rosma, para ODHIV banyak yang LTFU. Hal tersebut akan berdampak terhadap kesehatan para ODHIV dan juga target pemerintah untuk melakukan pengobatan kepada mereka.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat ini melakukan upaya penanggulangan HIV-AIDS dengan menempuh jalur cepat 95-95-95. Artinya mencapai target indikator 95% estimasi ODHIV diketahui status HIV-nya, 95% ODHIV diobati dan 95% ODHIV yang diobati mengalami supresi virus.

(Masukan data diagram dari kemenkes)

Berdasarkan data Sistim Informasi HIV AIDS (SIHA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Januari 2024, gambaran capaian indikator 95 - 95 - 95 pada tahun 2023 terlihat belum memenuhi target.

Diketahui dari ODHIV hidup dan mengetahui statusnya sampai dengan Desember 2023 adalah 393.921 (76%), ODHIV mengetahui status dan sedang mendapat pengobatan ARV adalah 177.277 (45%), ODHIV sedang dalam pengobatan ARV yang di tes VL sebanyak 88.777 ODHIV dan ODHIV sedang dalam pengobatan ARV yang virusnya tersupresi sebanyak 82.046 (46%). 

“Gimana mau tercapai kalau misalnya masih banyak layanan yang melakukan stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman ODHIV,” tegas dia.

Sementara itu berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2018-2022  masih jauh dari harapan. Capaian target tersebut khususnya pada perempuan, anak dan remaja masih belum optimal. Sebab, baru 79% ODHIV mengetahui status HIV-nya, baru 41 % ODHIV yang diobati, dan 16% ODHIV yang diobati mengalami supresi virus.

Berdasarkan data Asian Epidemic Modeling  (AEM), tahun 2021 diperkirakan ada sekitar 526,841 orang hidup dengan HIV dengan estimasi kasus baru sebanyak 27.000 kasus. Dari data tersebut, sekitar 40% dari kasus infeksi baru tersebut terjadi pada perempuan.
Penyebabnya beragam mulai dari pandemi COVID-19, retensi pengobatan ARV yang rendah, adanya ketidaksetaraan dalam layanan HIV serta masih dirasakannya stigma dan diskriminasi yang berawal dari kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV-AIDS.
Rosman melanjutkan, ketika terdapat daftar pasiennya yang sudah tidak lagi berobat, petugas puskesmas pun menghubungi pihaknya untuk meminta bantuan. Akhirnya Rosman menghubungi jaringannya atau ODHIV-nya secara langsung untuk dibujuk agar mereka tetap bersedia menjalani pengobatan ARV.

Selain itu, Rosma juga mengedukasi kepada petugas puskesmas ketika terdapat ODHIV transgender, agar memanggil mereka dengan menggunakan nama samaran perempuan. 

Pihaknya juga mengedukasi kepada ODHIV transpuan agar tidak menggunakan pakaian yang mencolok ketika mengakses pelayanan kesehatan di puskesmas. Tujuannya, agar mereka tidak lagi mendapatkan stigma dan diskriminasi saat berobat di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes).

“Jadi kami tidak mendikte mereka. Ini bisa win win solution aja kan demi kenyamanan pihak puskesmas dan teman-teman ODHIV transgender,” jelasnya.

Saat ini, sudah sekitar 15 puskesmas di Jabodebek yang telah bekerjasama dengan Womxn’s Voice dalam melakukan pengobatan kepada ODHIV maupun populasi kunci lainnya.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi menjelaskan bentuk stigma dan diskriminasi di fasyankes, umumnya dilatarbelakangi karena ketakutan akan tertular. 

Pencegahan penularan HIV bagi petugas kesehatan/ tenaga medis di fasyankes seharusnya melakukan prosedur medis sudah menjadi standar pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yang bersumber dari darah/cairan tubuh, yaitu dengan kewaspadaan standar. 
Dengan melakukan kewaspadaan standar pada prosedur/ praktik tindakan medis/ laboratorium, penularan HIV, juga infeksi melalui darah seperti Hepatitis B dan Hepatitis C dapat dicegah. 
Imran menjelaskan berdasarkan penelitian dari layanan Kemenkes bersama Yayasan PIKAT dan UNAIDS pada tahun 2023, kasus stigma dan diskriminasi yang dilaporkan di layanan kesehatan cukup rendah yaitu kurang dari 10%. 
Lebih dari 95% responden menyatakan bahwa mereka belum pernah menyaksikan petugas kesehatan menolak pengobatan bagi ODHIV atau memberikan layanan di bawah standar kualitas yang ditetapkan. Studi ini juga menemukan bahwa sekitar 9% petugas kesehatan tidak bersedia memberikan layanan kepada populasi kunci. 
“Meskipun ini merupakan indikasi positif, target idealnya adalah 0%,” ujarnya.
Berdasarkan temuan kuantitatif dari penelitian yang melibatkan 2.198 peserta dari 12 Kabupaten/kota di 6 provinsi dari peran layanan kesehatan, ditemukan stigma dan diskriminasi. 
Dari 30,9% peserta yang bekerja di layanan HIV, 4,6% melaporkan menyaksikan penolakan layanan dan 4,1% mengamati layanan yang lebih buruk bagi ODHIV. Para peserta juga kerap melakukan tindakan pencegahan yang tidak perlu atau berlebihan seperti memakai sarung tangan ganda dan menggunakan tindakan khusus untuk pasien ODHIV. 
(Bisa dibuat tabel?)
Kemudian temuan kualitatif memperkuat hasil kuantitatif dengan menekankan tindakan pencegahan yang tidak perlu dalam layanan ODHIV dan praktik diskriminatif. Termasuk penolakan dan kualitas layanan yang lebih rendah untuk pasien ODHIV. 
“Studi ini mengidentifikasi berbagai perilaku diskriminatif, seperti menghindari aktivitas yang berhubungan dengan ODHIV dan menggunakan alat yang berbeda,” tutur dia.  

Sementara itu berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) menemukan 55 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV: diantaranya 42 sudah menikah, 8 orang belum menikah, dan 5 orang bercerai.

Dari kasus tersebut, bentuk kekerasan tertinggi adalah kekerasan fisik yaitu pemukulan dan penganiayaan. Kemudian disusul dengan kekerasan psikis dengan cara melarang perempuan berobat ARV.

Beberapa bentuk diskriminasi yang lain adalah penghinaan secara verbal, dijauhi dan dikucilkan, ditolak dari tempat kerja, dan diusir dari tempat tinggalnya.

Menjadi Paralegal

Womxn’s Voice juga menjadi paralegal dengan memberikan pendampingan hukum terhadap seorang yang terkena kasus narkotika. Paralegal merupakan seseorang yang mempunyai keterampilan hukum namun bukan seorang pengacara.

Rosma menjelaskan pengguna narkotika, terutama yang menggunakan jarum suntik banyak terkena HIV/AIDS. Ketika mereka ditangkap oleh pihak kepolisian, terkadang mereka tidak membawa obat untuk penyakit HIV/AIDS-nya.

“Jadi kami menanyakan apa saja kebutuhan mereka (klien) dan apa saja yang dapat dibantu. Termasuk bantuan untuk akses pengobatan,” kata Rosma.

Biasanya, ketika mereka ditahan di rumah tahanan (Rutan) saat berstatus tersangka/terdakwa, akan sulit mendapatkan pengobatan ARV maupun metadon di fasilitas kesehatan. Ditambah lagi, penyidik dan sipir penjara yang belum teredukasi perihal ODHIV yang membutuhkan konsumsi obat tersebut.

Di sana lah peran paralegal yang tergabung dalam Womxn’s Voice untuk memberikan pendampingan kepada ODHIV yang berhadapan dengan hukum. 

Mereka memberikan pemahaman kepada penyidik dan sipir penjara agar kliennya tetap bisa mengkonsumsi obat ARV maupun Metadon saat ditahan. Atau bekerjasama dengan pelayanan kesehatan yang ada di dalam rutan untuk memenuhi kebutuhan kliennya.

Selain pengobatan, Rosma mengatakan kliennya juga berhak mendapatkan terapi di dalam rutan meski telah berstatus sebagai tersangka. Pasalnya, hal tersebut sudah menjadi instruksi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

“Itu kan salah satu hak yang harus diberikan oleh pihak penyidik terkait hak atas kesehatannya teman-teman (ODHIV). Walaupun tersangka juga kan tetap hak kesehatannya harus dikasih,” tegas dia.

IDI Sebut Peran Komunitas Penting

Anggota Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban menyatakan peran komunitas dalam menangani HIV/AIDS itu sangat penting. 

“Pada aspek sosial HIV, masih ada stigma dan diskriminasi dari masyarakat sekitar. Nah, di sini peran komunitas menjadi penting untuk mendampingi orang dengan HIV/AIDS,” kata Zubairi kepada Deduktif Minggu (19/5/2024).
 
Memang peran komunitas dinilai sangat penting. Hari AIDS Sedunia pada 2023 lalu, mengangkat tema Let Communities Lead yang menekankan betapa pentingnya peran komunitas bagi para ODHA. Sementara tema nasional adalah “Bergerak Bersama Komunitas: Akhiri AIDS 2030”.

Zubairi merupakan salah satu pionir yang menggeluti dan menangani HIV/AIDS di Indonesia sejak era 80-an. Ia menjelaskan, peran komunitas juga bisa mengedukasi masyarakat perihal penularan penyakit HIV/AIDS agar mereka tidak khawatir. 

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, penularan penyakit HIV/AIDS memang hanya melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik melalui ibu hamil yang terinfeksi ke bayi yang dikandungnya. Kemudian pada layanan kesehatan misalnya penggunaan jarum bekas suntik.

“Walaupun sebagian besar penularan adalah melalui hubungan seksual baik heteroseksual, laki-perempuan, perempuan-laki, maupun homoseksual dari laki ke laki. Dan penularan terbanyak yang lain adalah melalui jarum suntik narkotik,” jelas dia.

Dia mengatakan jika HIV/AIDS saat ini sudah ada obatnya yang disediakan gratis oleh pemerintah. Sehingga bila tidak putus obat (LSFU), maka harapan hidup dan kualitas hidup orang dengan HIV-AIDS ini baik sekali.

“Banyak yang tetap sehat setelah 20-30 tahun, bahkan yang lebih dari 30-60 tahun tetap sehat,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, mengatakan pihaknya selalu bekerjasama dengan komunitas dalam menangani penyakit HIV/AIDS kepada ODHIV.  Sejumlah komunitas tersebut tersebar di fasilitas pelayanan kesehatan (Fayenkes) seperti puskesmas.

Sejak awal intervensi pengurangan/penghapusan stigma dan diskriminasi dilakukan Kemenkes bersama  jajaran Dinas Kesehatan (Dinkes), dan bersama komunitas populasi kunci serta ODHIV/ pendamping/ pendukung sebaya.
Kerjasama yang dilakukan yakni membuat perjanjian antara Dinas Kesehatan/Puskesmas, Klinik, atau Rumah Sakit dengan organisasi komunitas / LSM / yayasan yang melaksanakan program penjangkauan populasi kunci dan pendampingan ODHIV (peer support). 
Kegiatan yang dilakukan antara lain, petugas lapangan komunitas melakukan promosi, edukasi, dan penjangkauan (secara aktif mendatangi populasi kunci) dan mendorong/ mengajak mereka yang berisiko untuk mengetahui status HIV dengan melakukan tes HIV. 
Selanjutnya, apabila hasil tes positif HIV/AIDS, komunitas pendamping kemudian memberi pendampingan hingga dukungan psikososial. Sebab, ketika hasil tes positif disampaikan kepada klien, bisa menimbulkan kesedihan, kebingungan, bahkan depresi, dan ODHIV merasa seperti vonis. 
“Pada awal-awal biasanya perlu pendampingan dan dukungan motivasi untuk mau berobat menjalani pengobatan antiretroviral (ARV). Diperlukan konseling kesehatan mental yang saat ini juga banyak dilakukan di fasyankes pemberi layanan HIV,” kata Imran kepada Deduktif Minggu (19/5/2024). 
Kemudian lanjut Imran, komunitas juga berupaya membangun empati dan pengertian terhadap individu dengan HIV AIDS, sehingga mereka dapat diterima dan diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya. 
“Komunitas melakukan kampanye penyuluhan dan advokasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS dan mengubah sikap negatif terhadap mereka yang terinfeksi melalui ceramah, seminar, dan meningkatkan solidaritas dalam pencegahan dan pengendalian HIV AIDS,” jelas dia.
Imran pun membenarkan pernyataan Rosma jika selama ini komunitas berperan melakukan edukasi, komunikasi, dan informasi kepada populasi kunci dan ODHIV. Kemudian kepada tenaga kesehatan tentang HIV dan tentang bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi serta membagikan pengalaman dengan nakes/petugas kesehatan. 
“Kerja sama di fasyankes/layanan, termasuk melakukan kegiatan luar gedung bersama-sama untuk menyediakan layanan tes dan pengobatan ARV bagi populasi kunci dan ODHIV yang sulit mengakses/ datang ke fasyankes,” jelas dia.
Selain itu, Kemenkes juga bekerja sama dengan mitra internasional, seperti WHO, UNAIDS, the Global Fund to fight AIDS, TB dan Malaria, dan USAID dalam memberikan pelayanan kesehatan yang ramah dan bebas dari diskriminasi serta stigma kepada populasi kunci dan ODHIV.
Beberapa upaya yang dilakukan yaitu program HIV/AIDS mencakup pencegahan, penemuan kasus, pengobatan, perawatan, dan dukungan terhadap ODHIV. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berupa pelatihan kepada petugas kesehatan dalam memberikan layanan yang berkualitas. Salah satu pelatihan yang diberikan kepada nakes adalah intervesni pengurangan atau penghapusan stigma dan diskriminasi bagi populasi kunci dan ODHIV.
Melakukan layanan komprehensif berkesinambungan yaitu terintegrasi dan berkelanjutan bagi ODHIV, termasuk penemuan secara dini, pengobatan, dan pencegahan infeksi opportinistik (IO).
“Melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan yang ramah pasien kepada populasi kunci serta mendukung peran komunitas,” tuturnya.