Perjuangan Maha di Negeri Sarang Ular

Perjuangan Maha di Negeri Sarang Ular

 

Sabtu siang itu (12/6) Tri Maharani, akrab disapa Maha, menjadi pemateri seminar daring tentang pertolongan pertama pada korban gigitan ular berbisa. Peserta seminar adalah para pelaku usaha pariwisata. Mereka perlu tahu demi mengembangkan industri pariwisata Indonesia yang aman, khususnya dari ancaman ular berbisa. 

 

Indonesia adalah negara yang indah dengan deretan gunung dan lautan luas. Surga bagi wisatawan dari seluruh dunia. Tetapi juga sarang 77 jenis ular berbisa mematikan yang  sewaktu-waktu bisa menyerang para wisatawan.  Surga yang didamba dengan segera bisa berubah jadi neraka. 

 

Maha memaparkan data kasus gigitan ular di negeri ini yang mencapai 135 ribu per tahun. Jauh lebih tinggi dari kasus HIV, 20-50 ribu per tahun. Fakta ini perlu mendapat perhatian serius, termasuk pengetahuan terkait pertolongan pertama pada korban. 

 

Selama ini, pelajaran pertolongan pertama pada korban juga ternyata salah. Menurut Maha, bisa bukan menyebar melalui darah, melainkan pada kelenjar getah bening. Pertolongan pertama bukan dengan menyedot darah atau mengikat luka sebagaimana lumrah dilakukan, melainkan dengan melakukan imobilisasi: membuat bagian yang tergigit tak bergerak. Fungsinya mencegah pergerakan otot yang membuat kelenjar getah bening terpompa dan bisa ular kian menyebar.

 

Semua yang meninggal itu tidak ada pakai first aid imobilisasi, menurut 10 tahun penelitian saya. Yang pakai itu tidak ada yang mati,” kata Maha. 

 

Maha adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dengan spesialisasi penanganan gawat darurat. Ia merampungkan jenjang doktoral di kampus yang sama pada 2014 dengan riset terkait pengobatan penyakit kardiovaskular. 

 

Namun, sejak 2012, Maha memilih mendalami penanganan gigitan ular. Ia mengambil keputusan ini setelah mengikuti sebuah seminar yang diampu Profesor Ahmad Khaldun, seorang spesialis penanganan gawat darurat dari Malaysia. 

 

Sementara saya melupakan impian menjadi periset di bidang kardiovaskular untuk menolong orang-orang yang tergigit ular,” kata Maha. 

 

Maha tak sedang sesumbar ketika mengatakan hal itu. Sudah banyak korban gigitan ular berbisa yang berhasil diselamatkannya, dan lebih banyak lagi jika mau menghitung orang-orang yang mungkin terselamatkan setelah mendapat pengetahuan pertolongan pertama darinya. 

 

Salah satu kisah paling terkenal, adalah ketika Maha menyelamatkan seorang bocah bernama Martinus pada Januari 2020. Bocah itu digigit ular langka bernama ilmiah Daboia russelii siamensis. Sebelum Martinus, tak ada catatan korban ular tersebut yang selamat. Berkat pengetahuan dan akses Maha untuk mendapatkan serum anti-bisa ular, Martinus lolos dari maut. 

 

Maha merogoh kocek cukup dalam untuk menyelamatkan nyawa Martinus, yang saat itu sudah mengalami komplikasi akibat bisa ular telah menyebar ke organ lainnya. Ia mesti membeil sebanyak 12 vial serum antibisa buatan Thailand yang cocok dengan bisa ular yang menggigit Martinus. 

 

Harga per vial serum tersebut mencapai ratusan dolar Amerika Serikat. Itu pun harga khusus yang bisa didapatnya lantaran koneksinya dengan seorang profesor di Thailand. Maha pun mesti menanggung sendiri biaya perjalanan mengambil serum ke Thailand.

 

Maha tak menganggap pengeluaran yang besar itu sebagai beban. Yang lebih penting baginya adalah menyelamatkan nyawa para korban dan mencegah munculnya korban baru. 

 

“Hampir seluruh gaji saya untuk edukasi dan menyelamatkan korban gigitan ular. Saya memang tidak cari uang,” kata Maha. 

 

Berdasarkan penelitian Maha, banyak kasus gigitan ular berbisa terjadi di areal persawahan. Salah satunya terlihat dari penelitiannya pada 2015 lalu di Kabupaten Bondowoso. Maka, salah satu fokusnya adalah mengedukasi petani dan komunitas masyarakat lain sebagai langkah pencegahan gigitan ular berbisa. 

 

Edukasi tersebut antara lain saran untuk menggunakan pakaian lebih tebal ketika bertani dan mewaspadai musim puncak ular menyebar. Salah satu musim ular menyebar adalah jelang dan usai bencana alam seperti erupsi gunung berapi. 

 

Pada Mei 2018, Maha menjadi satu dari 28 orang pakar di dunia yang ikut dalam Snakebite Envenoming (SBE)-Working Group. Rapat ini diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang setahun sebelumnya memasukkan gigitan ular berbisa dalam daftar prioritas penyakit tropis terabaikan (neglected tropical disease/NTDS). 

 

Hasil pertemuannya, program mereduksi kasus dan korban gigitan ular hingga 50 persen di seluruh dunia hingga 2030. Maha berharap Indonesia mampu mewujudkannya, meski hingga kini belum terlihat tanda ke arah sana. Pasalnya, negeri ini belum memiliki program khusus untuk NTDS. 

 

Tanpa program itu, akan susah menyiapkan sarana dan prasarana guna mencegah dan mengobati gigitan ular berbisa. Mengingat untuk itu butuh langkah berkelanjutan dalam jangka panjang. 

 

Sementara, Indonesia sebagai sarang ular berbisa perlu berbenah dalam banyak hal. Mulai dari pendataan, pengembangan antibisa ular, terapi, sampai penyediaan sarana di fasilitas kesehatan. 

 

Maha mengaku telah menyampaikan pentingnya program khusus tersebut kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Ia pun mengaku bersedia tak dibayar untuk menyiapkan panduan-panduan penunjang program tersebut yang khas Indonesia. Mengingat negeri punya keunikan tersendiri pada jenis ular. 

 

“Kalau ada program neglected cases, maka bisa continue sampai seratus tahun,” kata Maha. 

 

Keinginan Maha barangkali tak akan terwujud dalam waktu dekat. Namun, ia tak akan pernah membiarkan keinginannya padam. Ia justru akan lebih gencar lagi mengedukasi masyarakat dan membantu korban.