Nasib guru honorer di Indonesia semakin tak menentu. Kebijakan cleansing yang digencarkan di berbagai daerah membuat para pengajar honorer terpaksa kehilangan pekerjaan, meskipun telah bertahun-tahun mengabdi. Mereka tidak hanya digaji rendah, bahkan jauh di bawah upah minimum, tetapi juga harus menghadapi persaingan dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Fenomena ini meresahkan, terutama bagi para guru honorer yang masih terjebak dalam ketidakpastian.
Gaji guru honorer sering kali tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka tanggung. Banyak guru honorer yang mengajar di berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD hingga SMA, hanya menerima gaji jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Sebagai contoh, Vini, seorang guru PPKN di Jakarta Timur, hanya menerima gaji sebesar Rp1,3 juta meskipun mengajar 27 jam per minggu dan harus menangani tugas administratif yang menumpuk. Ironisnya, meski pemerintah menyatakan anggaran untuk guru honorer mencapai Rp15 miliar, kesejahteraan mereka tetap tidak terjamin.
Kedatangan PPPK membuat jam mengajar guru honorer tergeser, bahkan banyak yang kehilangan pekerjaan secara sepihak. Seperti Raka, guru honorer di salah satu SD negeri di Jakarta Selatan, yang tiba-tiba diberhentikan karena posisinya diambil alih oleh guru PPPK. Padahal, seharusnya ada proses penataan, bukan pemberhentian sepihak. Kasus-kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah lain seperti Aceh, Garut, dan Lampung, di mana ratusan guru honorer tergeser.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Riset IDEAS dan Dompet Dhuafa pada Mei 2024, 74% guru honorer di Indonesia mendapatkan penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan, dan 20,5% di antaranya bahkan hanya memperoleh di bawah Rp500 ribu. Kondisi ini memperburuk keadaan para guru honorer yang kini harus menghadapi kebijakan cleansing. Kebijakan ini dianggap menyalahi aturan karena pemberdayaan guru seharusnya dilakukan secara demokratis dan adil, seperti yang diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005.
Fenomena cleansing yang semakin meluas menunjukkan buruknya tata kelola guru di Indonesia. Sistem PPPK yang seharusnya menjadi solusi malah menimbulkan konflik antara guru honorer dan PNS. Dengan ribuan guru honorer yang kehilangan jam mengajar atau bahkan pekerjaan mereka, kualitas pendidikan di Indonesia juga dikhawatirkan akan semakin menurun.
Kebijakan cleansing dan persaingan dengan PPPK menambah tekanan bagi guru honorer di Indonesia. Meski mereka menjadi tulang punggung pendidikan di berbagai wilayah, terutama di daerah-daerah terpencil, upah mereka masih sangat minim. Apabila kebijakan ini terus berlanjut tanpa penataan yang jelas, maka nasib guru honorer semakin terancam dan masa depan pendidikan Indonesia pun menjadi tanda tanya besar.