Rosyid: Dari Kobong Masjid ke Emperan Toko

 ROSYID: DARI KOBONG MASJID KE EMPERAN TOKO

Bayangkan kamu tertidur di Jakarta, lalu kamu terbangun di 340 kilometer dari tempat kamu pergi tidur. Itulah yang dialami Rosyid.

Dengan satu kulak beras dan uang Rp50 ribu, Rosyid dan enam kawannya dibuang petugas panti sosial ke daerah Petarukan, Pemalang. Sebelumnya, sudah sepuluh hari Rosyid berada di barak panti Bina Insan Bangun Daya 1 yang berlokasi di Puri Kembangan No.2, Jakarta Barat.

Sepuluh hari berada di barak panti bikin Rosyid nyaris mati bosan. Pagi mesti senam, siang makan bersama, dan setelahnya cuma melamun di pelataran. 

Masuk hari kesebelas, kayak kucing liar, Rosyid diangkut keluar Jakarta.

“Saya diangkut ketika tidur di depan toko arloji daerah Cideng [Gambir, Jakarta Pusat],” kata Rosyid. Rosyid mengenang kejadian pengujung Desember 2020, saat ia kena jaring operasi penertiban Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial (PMKS) yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta.

Saban malam Rosyid memang kerap tidur di depan toko arloji itu. Selembar tripleks dan jaket beludru bekas menjadi kasur dan selimut baginya. Beberapa kali ia mesti menghirup sangit sampah yang dibakar sesama tunawisma lain di emperan seberang. Rosyid kerap tidur di dekat parit. Jika hujan deras dan air parit meluap, ia tidur dengan menghidu bau anyir. Tak banyak pilihan.

“Saya nguli angkut barang di Pasar Karang Anyar. Upahnya nggak seberapa. Cuma dari sana sering bawa jualan sisa dari beberapa jongko, yang bisa saya bagi ke teman-teman juga,” kata Rosyid.

Seringkali pedagang buah di Pasar Karang Anyar memberi buah yang tidak laku kepada Rosyid. Kondisinya memang menjelang busuk, tapi masih layak untuk dimakan. Di lain hari, penjual kue basah membungkuskan kue sisa. Tidak jarang Rosyid juga menyisir beras yang berjatuhan di jongko sembako.

 

DATANG KE JAKARTA

Ayah Rosyid meninggal satu dekade lalu di kampungnya di Tasikmalaya. Ibunya telah lebih dahulu mangkat saat Rosyid masih berusia delapan. Ia hanya punya satu saudara kandung, kakak laki-laki yang sudah menikah dan beranak satu.

Setelah ayahnya wafat, Rosyid membulatkan merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya, Rosyid hanya bekerja membantu usaha kakaknya membuat pesanan sangkar burung. Tiap satu sangkar, upahnya Rp20 ribu.

Orangtuanya tak menyisakan warisan sama sekali. Sepetak sawah dan rumah setengah bilik di kampung mesti dijual untuk pengobatan almarhum ayahnya selama menderita sakit paru-paru.

“Awalnya diajak teman sekampung yang waktu itu jualan asongan di Tanah Abang. Bilangnya kerja apa pun di Jakarta pasti dibayar, lebih besar daripada di kampung,” kata Rosyid.

Dengan modal Rp200 ribu yang ia kumpulkan dari upahnya membuat sangkar burung, Rosyid nekat berangkat ke Jakarta pada Juni 2014.

Teman sekampungnya menampung Rosyid ketika pertama kali datang. Kurang lebih dua pekan ia menumpang di bedeng temannya. Hingga akhirnya Rosyid bingung karena tak kunjung mendapat pekerjaan, dan merasa tak enak hati karena temannya selalu membagi makanan selama ia menumpang.

 

DARI KOBONG MASJID KE EMPERAN TOKO

“Ada tawaran dari kenalan teman untuk jadi buruh cuci piring di warteg daerah Kebon Melati. Dibayar Rp40 ribu sehari. Kerja dari jam 6 pagi sampai 7 malam,” ujar Rosyid.

Karena kadung limbung tak kunjung mendapat pekerjaan selama di Jakarta, Rosyid menerima tawaran itu. Meski bayarannya hanya setara dua sangkar burung kakaknya.

Di warteg, Rosyid dapat jatah makan dua kali sehari. Terkadang, si empu warteg membungkuskan lauk sisa untuk Rosyid bawa pulang.

Pada rentang waktu inilah, Rosyid memutuskan untuk tidak lagi tinggal dengan teman sekampungnya. Ia mulai berpindah-pindah dan menumpang sana-sini untuk beristirahat di malam hari.

Awalnya ia diizinkan menemani seorang marbut buat mengurus masjid, masih berlokasi di Kebon Melati. Ia ditawari seorang pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) yang mendapati Rosyid tertidur setelah isya. Mengetahui Rosyid tidak mempunyai tempat tinggal tetap, pengurus DKM itu memperbolehkan Rosyid menemani satu marbut lain.

Rosyid hanya bertahan dua minggu di kobong kecil khusus marbut itu. Rosyid merasa kelelahan membersihkan seisi masjid—mulai dari ruangan dalam sampai tempat wudhu, terlebih dia masih bekerja jadi buruh cuci piring di warteg yang selalu ramai sejak pagi. Belum lagi ia sering disuruh mengantar pesanan makan ke beberapa tempat hanya dengan berjalan kaki.

“Kalau mesti ngontrak satu petak yang toilet luar, upah saya sebulan nyuci piring masih belum cukup,” ketus Rosyid.

Rosyid meminta izin pemilik warteg untuk numpang istirahat di teras sempit depan warteg. Merasa kasihan, si pemilik warteg memperbolehkannya. Ia juga memberi Rosyid tikar, bantal, dan selimut.

Meski sempit, ada semacam blandongan yang menutupi bagian atas teras warteg. Kalau hujan, setidaknya terhalang oleh blandongan dan gerbang penutup depan.

Setelah tiga bulan bekerja dan tinggal di sana, si pemilik memutuskan untuk pindah lokasi jualan. Dan Rosyid diberhentikan. Alasannya, si pemilik bakal mempekerjakan anaknya sendiri dari kampung.

Rosyid frustasi. Tak ada tempat tinggal dan kehilangan pekerjaan membuatnya kian merasa kesepian berada di Jakarta. Belum lagi ia mendapat kabar teman satu kampung yang sebelumnya berjualan asongan telah pulang ke Tasikmalaya.

 “Gelap banget rasanya,” lirih Rosyid.

Setelah itu Rosyid hanya bisa luntang-lantung tak keruan. Tidur dari satu emperan toko daerah Kebon Melati, hingga ke emperan toko lain daerah Cideng. Sisa uang di sakunya sudah tandas. Untuk makan, ia mengorek bak sampah dan memungut makanan sisa.

 

MENGGELANDANG DI JALAN

“Saya tak mau kembali ke panti sosial. Ngegelandang di jalan masih bisa bikin saya hidup. Di panti, bisa bikin saya mati kebosanan,” tegas Rosyid.

Rosyid bercerita, ada seorang perempuan tunawisma yang punya anak usia sekitar 10 tahun merasa trauma tinggal di panti sosial. Ketika si anak sakit, pihak panti sosial tidak memberikan perawatan medis yang layak. Setelah sakitnya makin parah dan si ibu berteriak-teriak, si anak itu baru dilarikan ke rumah sakit.

Meski hanya buruh serabutan di pasar dan tak punya tempat tinggal, Rosyid menerima nasib dengan lapang.

Setelah dibuang ke Petarukan, Pemalang, Rosyid lagi-lagi nekat kembali ke Jakarta, naik kereta barang. Ia memilih hidup di Jakarta meski harus berpindah-pindah.

“Setiap orang di sini kayak udah punya kaveling masing-masing di emperan toko.”