Rumah di Persimpangan Jalan

Tepat pukul 12.00 siang, doa Angelus berkumandang melalui pelantang di sudut-sudut sekolah Santo Ignatius di Jl. Malang, Menteng, Jakarta Pusat. Anak-anak berseragam putih-merah bermain di selasar, menghindari terik matahari, sembari menunggu jemputan. Di samping sekolah tiga lantai itu, sebuah rumah berwarna kuning pucat berdiri.

Rumah itu sederhana dan tidak terlalu besar. Jendela-jendelanya berkusen kayu dan berkorden hitam pekat. Di tembok teras, terdapat pelat peresmian bertuliskan “Wisma Santo Ignatius” dengan tanda tangan Mgr. Leo Soekoto, S.J, Uskup Agung Jakarta yang kedua. Di rumah itulah Svetlana Dayani, putri sulung Njoto, menghabiskan sebagian masa kanak-kanaknya.

Keluarga Njoto pindah ke Jl. Malang pada 1957, tak lama setelah adik pertama Svet lahir. Saat mereka datang, rumah itu masih ditempati oleh Ludwieg Willner, seorang guru balet asal Belanda. Mereka berbagi ruang tinggal selama setahun sebelum keluarga Willner pindah ke Selandia Baru.

“Masih ada besi-besi yang untuk pegangan balet, cermin juga,” ujar Svet, mengingat kali pertama ia menjejakkan kaki di rumah bernomor 22 itu.

Tak hanya istri dan anak, Njoto juga memboyong kedua adiknya untuk tinggal bersama. Iramani, adik bungsu Njoto yang terpaut 18 tahun dengannya, berbagi kamar dengan Svet dan adik-adiknya. Seingat Svet, kamar itu disekat dengan tripleks saat tantenya beranjak remaja. Iramani pun akhirnya memiliki kamar sendiri.

Saat berbincang dengan Deduktif pada pertengahan Agustus 2022, Svet berkisah tentang ruang favoritnya di rumah Jl. Malang: ruang kerja sang ayah. Di sana, Njoto menyimpan buku-buku koleksinya dan berbagai instrumen musik yang sering ia mainkan. Di sana pula Svet kerap bermain dan membaca, sesekali menganggu ayahnya bekerja.

“Saya selalu terkagum-kagum [koleksi buku Bapak], karena saya dari kecil juga selalu dibiasakan untuk membaca,” kenangnya.

Svet kecil bukanlah anak yang suka bermain di luar rumah. Paling jauh, ia hanya bermain di teras. Dulu, ayahnya memasang dua patung hewan di masing-masing sisi teras: seekor monyet dan kodok. Kini, patung-patung itu sudah lenyap, tergantikan beragam tanaman hias. Kolam renang kecil di halaman belakang pun telah berubah menjadi Goa Maria. Pintu-pintu bertuliskan nama-nama murid Yesus kini menghiasi sisi rumah itu.

Keluarga Njoto tinggal di Jl. Malang selama kurang lebih sembilan tahun. Empat adik Svet—Timur Dayanang, Risalina Dayanah, Irina Dayasih, dan Fidelia Dayatun—lahir di sana. Ketegangan pasca peristiwa ‘65 memaksa mereka pergi.

 

Berpindah-pindah dalam pelarian

 

Malam hari, 2 Oktober 1965. Ayah Svet baru saja pulang dari Medan, Sumatera Utara. Sejak 28 September, ia mendampingi Wakil Perdana Menteri I Soebandrio kunjungan kerja. Saat itu, ia sudah diangkat sebagai Menteri Negara oleh Soekarno.

Setibanya di Jakarta, Njoto langsung mengajak istri dan anak-anaknya untuk meninggalkan rumah. Mereka harus mengungsi, entah ke mana. Kedua adiknya pun dipulangkan ke Surabaya, kampung halaman mereka.

Dengan bawaan seadanya, malam itu mereka berkeliling ke rumah para kerabat, berharap ada yang bersedia menampung. Soetarni—ibu Svet—hanya membawa satu buah koper dan cincin kawin yang melekat di jari manisnya. Semua surat-surat berharga ia tinggalkan.

“Mungkin harapannya suatu ketika akan kembali lagi, [pergi] cuma sementara saja, tapi ternyata kami enggak pernah kembali lagi,” kata Svet.

Usai berkeliling, mereka akhirnya mendapatkan tumpangan di rumah seorang kawan yang terletak di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Namun, Njoto ternyata tak ikut mengungsi. Ia hanya menitipkan Soetarni yang sedang hamil dan keenam anaknya di sana, lalu pergi, mungkin mencari tempat persembunyian lain atau kembali ke Jl. Malang.

Sejak saat itu, Soetarni dan anak-anaknya hidup dalam pelarian. Tak ada lagi bunyi akordion dari ruang kesukaan Svet di rumah. Tak ada lagi kamar tidur yang disekat tripleks. Tak ada lagi aroma tempe goreng dan rawon yang menguar dari dapur. Yang tersisa hanyalah upaya bertahan hidup, hari ke hari.

Irina Dayasih, adik Svet yang baru berusia tiga tahun saat mereka meninggalkan Jl. Malang, tak punya banyak ingatan mengenai rumah itu. Ia hanya ingat bahwa pasca 65, mereka berpindah-pindah tempat tinggal.

“Berpindah-pindah tempat menyelamatkan diri. Saya sudah tidak ingat lagi ke mana saja,” ujarnya saat ditemui Deduktif pada pertengahan Agustus 2022. 

Berdasarkan penuturan Svet, selama dalam pelarian, mereka sempat tinggal di area Kebayoran dan Melawai. Ada masanya mereka hanya diperbolehkan tinggal di suatu tempat dari pagi hingga sore hari dan perlu mencari tempat lain untuk menginap. Ketika pagi datang, mereka akan kembali ke tempat itu.

Selain di Kebayoran dan Melawai, Soetarni dan anak-anaknya juga pernah mengungsi di indekos para mahasiswa anggota Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Seingat Svet, ayahnya pernah menjenguk mereka di sana pada akhir 1965. Itu adalah kali pertama mereka melihat Njoto sejak meninggalkan rumah, sekaligus kali terakhir.

 

Trauma akan Aparat

Setahun berselang, tentara menggerebek indekos CGMI tersebut dan menangkap Soetarni. Bersama ketujuh anaknya, termasuk Esti Dayati yang waktu itu masih berusia tiga bulan, Soetarni ditahan di markas Kodim 0501/Djaya-Pusat yang berlokasi di Jl. Budi Kemuliaan. Ia dibebaskan delapan bulan kemudian.

Pada Juni 1969, Soetarni kembali ditangkap di Wonogiri, Jawa Tengah dengan tuduhan mengikuti rapat politik. Kali ini, anak-anaknya tak ikut ditahan. Soetarni dipindahkan dari rumah tahanan ke rumah tahanan selama 11 tahun sebelum dibebaskan. Ia pernah ditahan di Rutan Perempuan Bulu di Semarang, Rutan Wanita Bukit Duri di Jakarta, dan Kamp Plantungan di Jawa Tengah.

Setelah keluar dari penjara, Soetarni kerap tinggal bersama Svet. Namun, Svet dan adik-adiknya tak berani bertanya macam-macam kepada sang ibu. Svet bilang, ibunya cukup trauma jika harus berhadapan dengan tentara dan aparat negara.

“Pindah RT saja ibu saya enggak mau karena malas berurusan (dengan aparat negara).”

Meski demikian, Svet ingat bahwa sang ibu pernah bercerita tentang seorang romo yang ia temui di penjara. Romo tersebut mengatakan bahwa rumah mereka di Jl. Malang “sudah kami beli”. Padahal, Soetarni tak pernah membubuhkan tanda tangan pada dokumen apa pun selama berada di penjara.

“Jadi, kalau ada peralihan dan ada tanda tangan, bisa dipastikan itu bukan tanda tangan ibu saya,” ujar Svet.

Berdasarkan keterangan di laman sejarah paroki pada situs Gereja St. Ignatius Loyola Jakarta, tentara sempat menduduki rumah dinas Wakil Ketua II Central Committee PKI itu, sebelum dibeli oleh gereja pada akhir dekade 60-an.

Saat ditemui Deduktif, Irina Dayasih bercerita bahwa ia pernah menemukan foto-foto lawas rumah itu di situs belanja daring eBay, sekitar delapan tahun lalu. Menurut Irina, dalam foto tersebut, tembok rumah sudah dicoret-coret dan ditandai sebagai rumah Njoto. Sayang, foto-foto tersebut sudah terjual sebelum ia berhasil membelinya.

Kini, wujud rumah itu tak lagi sama. Menurut catatan gereja, pada Februari 1993, rumah itu direnovasi karena tak lagi mampu menampung seluruh kegiatan pengurus paroki. Ia kini terdiri dari dua lantai dengan 22 ruangan untuk pastoran, unit pelayanan khusus, dan unit pelayanan umum. Semasa pandemi, area gereja St. Ignatius Loyola juga dipugar sehingga rumah tersebut kini berada sepagar dengan sekolah dan gereja, tepat di persimpangan Jl. Malang dan Jl. Latuharhary.

Di sana, doa Angelus kini berkumandang tiga kali sehari, saban hari. Nyanyian Mazmur dan puji-pujian terdengar setiap akhir pekan. Namun, kenangan akan merdu akordion dan saksofon yang dimainkan ayah mereka di rumah itu akan terus abadi di ingatan Svet dan adik-adiknya.