Epilog Dahlan di Jawa Pos: Dianggap Gagal dan Kehilangan Kuasa
Satu hari di sekitar Juni 2018, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) Jawa Pos Holding (JPH) digelar di Graha Pena, Surabaya. Agenda utama rapat kali itu adalah evaluasi kinerja perusahaan. Rapat semacam ini lebih sering terjadi sepanjang 2017-2018 menyusul pendapatan JPH yang terus menurun.
Ternyata rapat hari itu tak sekadar mengevaluasi kinerja dan menyusun strategi baru perusahaan. Mayoritas pemegang saham mendesak Dahlan Iskan mundur dari chairman atau pimpinan utama JPH.
JPH adalah induk dari PT Jawa Pos Koran (JPK) yang menerbitkan harian Jawa Pos, PT Jawapos Jaringan Media Nusantara (JJMN) yang kini membawahi media-media lokal jejaring Jawa Pos, PT Jawa Pos Multimedia (JPM) yang menjadi induk jejaring teve lokal, serta anak perusahaan lain seperti PT Adiprima Suraprinta (perusahaan kertas) dan PT Temprina Media Grafika (perusahaan percetakan).
Status JPH saat ini belum menjadi perusahaan terbuka. Pemegang saham utama JPH adalah PT Grafiti Press sebesar 49,04%. Grafiti adalah perusahaan yang juga pemegang saham dan penerbit Majalah Tempo.
Kepemilikan saham Grafiti terkait dengan sejarah Jawa Pos. Pada 1982, Eric Samola yang menjabat Direktur Utama Grafiti Press saat itu menginisiasi pembelian Jawa Pos dari keluarga The Chung Sen. Sementara, Grafiti adalah perusahaan yang dikelola Yayasan Jaya Raya, sebuah Yayasan yang berdiri atas inisiasi PT Pembangunan Jaya Ciputra. Dengan kata lain, pengendali JPH adalah Ciputra.
Keluarga Eric Samola juga memiliki saham di JPH sebesar 8,90%. Berdasarkan keterangan dari Ahmad Dardiri alias Ade, Direktur Utama Riau Pos yang juga anak perusahaan Jawa Pos, setelah Eric meninggal, saham keluarga tersebut dikelola istrinya: Dorothea Samola. Termasuk kepemilikan saham atas nama Dorothea di Riau Pos yang sebesar 6%.
Hubungan antara Grafiti dengan Tempo membuat sejumlah pendiri Tempo menjadi pemegang saham perorangan di Jawa Pos. Mereka adalah Goenawan Mohamad, Fikri Jufry, Lukman Setiawan, dan Harjoko Trisnadi yang kerap disebut sebagai pemegang saham Jakarta. Pemegang saham perorangan lain adalah Ratna Dewi. Jumlah saham mereka, berdasarkan sumber-sumber kami yang tahu soal ini, masing-masing di bawah 10%.
Dahlan memegang saham sebesar 10,20% atau yang terbesar kedua setelah Grafiti. Saham ini, berdasarkan liputan Pantau pada 2001 lalu, salah satunya didapat Dahlan dari hibah Eric Samola pada 2000.
Sebagai pemegang saham mayoritas kedua, Dahlan sangat berpengaruh di JPH dan keputusannya menentukan. Misalnya, ketika pada 2011 ia menunjuk anak lanangnya, Azrul Ananda, sebagai Direktur Utama PT Jawa Pos Koran (JPK) yang menjadi lini bisnis utama JPH.
Namun, Dahlan kehilangan superioritasnya dalam RUPS-LB kali itu. Ia tak kuasa melawan keputusan pemegang saham lain dan terpaksa harus mundur sebagai chairman JPH—perusahaan yang ia kelola dan besarkan sejak menerima kepercayaan dari Eric Samola pada 1982.
Pendapatan Jadi Alasan Pemegang Saham Depak Dahlan
Cukup sulit mencari sumber yang bisa dan bersedia menceritakan secara detail berlangsungnya RUPS-LB di Graha Pena Surabaya, Juni 2018 lalu itu. Dahlan sebagai pihak “kalah”, pun enggan membahas soal ini saat saya menghubunginya melalui pesan WhatsApp pada 6 Januari 2022 lalu.
“Rasanya tidak (bersedia wawancara ihwal RUPS-LB dan kemunduran dari Jawa Pos). Itu menyangkut guru-guru saya….maafkan,” kata Dahlan.
Bahkan, Dahlan pun enggan bercerita sekadar ihwal perjalanannya mengelola dan membesarkan Jawa Pos. Ia hanya mengatakan “masa lalu bagi saya hahaha….kesannya kok tidak ikhlas meninggalkannya.”
Namun, dari jawaban tersebut telah menyiratkan bahwa keputusan dalam RUPS-LB saat itu cukup berat baginya dan mengkonfirmasi dirinya tak lagi pemimpin Jawa Pos. Bila liputan Pantau pada 2001 lalu berjudul Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, maka kini Jawa Pos bukan lagi Dahlan Iskan.
Dhimam Abror Djuraid, mantan pemimpin redaksi Jawa Pos, berdasarkan pengetahuannya menyebut alasan para pemegang saham mendesak Dahlan mundur lantaran dianggap gagal mengelola Jawa Pos yang berimbas kepada pendapatan perusahaan. Khususnya sejak Dahlan terjun ke politik praktis hingga sempat menjabat Dirut PLN pada 2009 dan Menteri BUMN di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dahlan pun sempat mengikuti konvensi presiden Partai Demokrat jelang Pilpres 2014 dan menang. Namun, suara Partai Demokrat pada Pemilu 2014 tak mampu memenuhi syarat ambang batas elektoral untuk mencalonkan presiden akibat badai isu korupsi mega skandal Century. Tak ada partai lain yang meminang Dahlan dan urung menjadi calon presiden.
“Pak Dahlan sudah gak berani menampakkan muka ke Jawa Pos. Pak Dahlan sudah tidak pernah ke Jawa Pos,” kata Abror kepada saya melalui telepon pada 20 September 2021 lalu.
Selama berkiprah di politik itu lah, kata Abror, Dahlan kemudian memaksakan Azrul sebagai suksesornya memimpin Jawa Pos. Memegang jabatan sebagai Direktur Utama Jawa Pos Koran, praktis seluruh keputusan bisnis perusahaan di tangan Azrul.
Abror mengaku sempat secara langsung menolak pengangkatan Azrul sebagai Direktur Utama Jawa Pos Koran oleh Dahlan. “Jangan Azrul gitu. Gak bisa,” kata Abror mengulang pernyataannya waktu itu kepada Dahlan.
Bagi Abror, perusahaan media massa tak bisa diperlakukan sebagai perusahaan keluarga yang kepemimpinannya diwariskan. Pemimpin perusahaan media massa mesti memiliki reputasi dan berpengalaman sebagai wartawan.
“Media itu reputasi, itu tidak bisa diwariskan. Harus diraih sendiri. Azrul itu kan mendapat reputasi dan prestise karena anaknya Pak Dahlan. Bukan karena dirinya sendiri,” kata Abror.
Abror merasa pendapatnya tersebut terbukti benar di kemudian hari. Lepas dari perhatian Dahlan, menurutnya, kinerja koran Jawa Pos yang menjadi bisnis utama JPH menurun drastis. Dahlan yang dijuluki Abror sebagai “Angsa Bertelur Emas” karena mampu memberi pundi-pundi uang hasil dividen kepada para pemegang saham, tak lagi bisa melakukannya.
Akhirnya inilah yang menjadi indikator bagi pemegang saham lain saat RUPS-LB menilai Dahlan gagal menjadi chairman JPH.
“Ya, biasalah, pemegang saham yang dianggap decline itu apa? Pendapatan iklan lah. Pendapatan iklan itu turun banget,” kata Abror.
Abror telah keluar dari Jawa Pos pada 2007 lalu dan kini menjadi ketua paguyuban alumni Jawa Pos bernama COWAS-JP, akronim dari Konco Lawas Jawa Pos. Paguyuban tersebut sangat aktif berkomunikasi dan terus berbagi informasi mengenai perkembangan internal Jawa Pos, termasuk melalui obrolan grup WhatsApp.
Arif Afandi, mantan Pemred Jawa Pos, punya pendapat yang mirip. Menurutnya, faktor utama Dahlan bisa terpental adalah tak lagi fokus mengurusi Jawa Pos. Indikator itu, baginya, ketika Dahlan kerap berujar sudah tak terlibat langsung di Jawa Pos dan menyerahkannya ke Azrul.
Sikap Dahlan yang semacam itu, kata Arif, khususnya setelah ia sakit dan harus ganti hati. Ini membuka peluang bagi orang-orang yang tak sevisi mendongkel Dahlan. Padahal, menurut Arif, momen sakit mestinya bisa menjadi ajang Dahlan mengidentifikasi para musuh dalam selimut.
Terlebih saat itu, kata Arif, banyak pejabat teras Jawa Pos yang tak suka dengan gaya kepemimpinan Azrul. Mereka itu merasa khawatir bakal terpental di bawah kepemimpinan Azrul yang ternyata juga tak berdampak baik ke pendapatan.
“Sehingga kemudian di dalamnya benturan-benturan ini tidak terbaca, kemudian merasa dia sudah aman, tapi kemudian tiba-tiba oh terjadi ini,” kata Arif saat kami bertemu di Plaza Senayan, Jakarta, 8 Oktober 2021 lalu.
“Kalau dalam bahasa agamanya, dalam hal-hal tertentu (Dahlan) terlalu nothing to lose. Merasa semua orang baik,” kata Arif.
Pada akhir 2021 lalu, salah satu anggota COWAS-JP bernama Bahari menerbitkan tiga jilid buku berjudul Konflik Jawa Pos Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan vs Goenawan Mohamad. Buku ini memuat juga fragmen peristiwa RUPS-LB di Graha Pena Surabaya saat itu dan menguatkan pernyataan Abror: para pemegang saham mendesak Dahlan mundur lantaran dianggap gagal mengelola JPH yang berimbas pada menurunnya pendapatan perusahaan.
Mengutip buku tersebut, para pemegang saham mendengarkan laporan kinerja Jawa Pos dari Direktur Utama Jawa Pos Koran Leak Kustiya dan Direktur Keuangan JPH Andreas Didi. Leak melaporkan kemajuan divisi iklan. Andreas melaporkan kemerosotan pendapatan Jawa Pos dari Rp 653,57 miliar pada 2014 dengan keuntungan Rp 257,5 miliar, menjadi Rp 345,57 miliar dengan keuntungan hanya Rp 148,81 miliar pada 2017.
Leak yang saya hubungi pada 16 Desember 2021 untuk mengonfirmasi terkait hal ini, menolak menjawab. Ia pun sempat enggan melakukan wawancara, tapi kemudian bersedia melakukan wawancara tertulis setelah saya meneruskan pesan WhatsApp dari Goenawan Mohamad (GM) yang meminta saya mewawancarainya.
Meski demikian, Leak menjawab pertanyaan saya seputar oplah koran Jawa Pos saat ini. Begini jawaban Leak:
“Sejak lima tahun terakhir, oplah dan bisnis koran banyak mengalami penurunan, tapi —tepatnya— tidak semua. Banyak daerah di tingkat kabupaten dengan karakter pembacanya yang berbeda-beda, bahkan tetap menumbuhkan peluang bisnis koran dan pembaca baru. Misalnya di kabupaten Tuban, Jawa Timur, awal tahun 2022 nanti akan didirikan perusahaan grup Jawa Pos yaitu Jawa Pos Radar Tuban sebagai pengembangan pasar baru Jawa Pos di wilayah edar Jawa Timur.”
Direktur Utama Riau Pos, Ahmad Dardiri yang mengaku dekat dengan salah satu pemegang saham bernama Ratna Dewi, saat saya temui di kantornya, Graha Pena Pekanbaru, pada 6 September 2021 lalu, pun membenarkan faktor terdepaknya Dahlan adalah pengelolaan perusahaan buruk dan berimbas menurunnya pendapatan.
Pria yang karib disapa Ade ini pun menyebut pengelolaan buruk tersebut sampai berimbas ke Riau Pos sebagai anak perusahaan Jawa Pos. Riau Pos adalah anak perusahaan Jawa Pos terbesar dan disebut sebagai “kapal induk” lantaran membawahi sejumlah media lokal lain atau cucu perusahaan Jawa Pos.
Koran tersebut terbit pertama kali pada 18 Januari 1991, tepat dengan tembakan pertama Perang Teluk. Pendirinya adalah Rida K. Liamsi, mantan koresponden Tempo, atas kepercayaan Dahlan. Pada masa puncak jayanya, tiras Riau Pos mencapai 35 ribu per hari. Konon pendapatan bulanannya saat itu mencapai Rp 1,8 miliar.
Ade yang mengawali karier sebagai wartawan Kaltim Post mengaku kepindahannya ke Riau Pos pada 2017 atas perintah Dahlan untuk membenahi manajerial dan mengerek pendapatan. Perintah itu diberikan Dahlan melalui orang kepercayaannya bernama Zainal Muttaqin yang saat itu memimpin Kaltim Post.
Di sekitaran 2016-2017, Dahlan sempat sangat fokus mengerek kembali pendapatan Jawa Pos setelah mendapat desakan dari pemegang saham lain. Salah satunya dengan mengerek pendapatan koran di grup Jawa Pos. Riau Pos yang saat itu pendapatannya menurun drastis pun masuk “karantina” untuk mendapat perhatian khusus.
Riau Pos memang dalam kondisi yang hampir mati saat Ade datang. Tiras dan pendapatan anjlok. Manajerial yang buruk, menurut Ade, adalah penyebab utama pendapatan “bocor”. Bukan pasar. Sehingga, Ade masih melihat peluang koran ini bangkit.
Setelah lebih kurang empat tahun membenahi Riau Pos, Ade berhasil mengerek pendapatan koran tersebut. Di tengah pandemi pada 2020, Riau Pos mencetak laba meskipun tak bisa kembali ke masa kejayaannya. Keterangan Ade itu sama dengan pernyataan Pemred Riau Pos, Firman Agus saat saya menemuinya di Graha Pena Riau, tiga hari sebelumnya.
Meski demikian, mengacu kepada data AC Nielsen, readership Jawa Pos secara nasional pada rentang 2016-2018 sebetulnya cenderung stabil dibandingkan Kompas. Pembaca koran Jawa Pos berada di kisaran 880 ribu-986 ribu. Angka paling rendah tercatat pada Kuartal-IV 2017 sebanyak 793 ribu.
Sebaliknya, readership Kompas yang pada Kuartal-III 2016 mencapai 1.006.000 terus menurun seiring tahun. Pada Kuartal-II 2018, readership Kompas hanya 440 ribu.
Data AC Nielsen tersebut menunjukkan sebetulnya Jawa Pos masih lebih sehat dibandingkan Kompas. Hal ini membuat mantan Pemred Jawa Pos, Arif Affandi menyangsikan alasan para pemegang saham mendepak Dahlan lantaran pendapatan.
“Tinggal dicek saja pendapatannya saat masih dipegang Pak Dahlan dan sekarang lebih baik atau lebih buruk,” kata Arif.
Sepengetahuan Arif, Jawa Pos selalu dalam kondisi yang sehat dengan total aset mencapai Rp 8,4 triliun. Aset tersebut mayoritas, menurut Arif, adalah buah hasil kerja Dahlan. Arif menyebut pada masa keemasan, oplah Jawa Pos bisa mencapai 500 ribu per hari. Angka yang hampir mendekati satu kuartal readership Jawa Pos saat ini.
GM Mematahkan Perlawanan Dahlan
Dahlan adalah sosok pekerja keras, pantang menyerah, dan bertangan dingin. Setidaknya itulah gambaran yang saya dapat dari beberapa bekas anak buahnya di Jawa Pos, seperti Dhimam Abror, Arif Afandi, Auri Jaya, dan Don Kardono.
Hal itu agaknya tak berubah sampai pada forum RUPS-LB. Mengacu kepada buku yang ditulis Bahari, Dahlan yang diwakili Imawan Mashuri tak serta merta menerima keputusan mayoritas para pemegang saham mendesaknya mundur. Melalui Imawan, Dahlan meminta diberi waktu dua tahun untuk mewujudkan program-program bisnis dan rencana kerjanya yang dikenal dengan Blue Ocean.
Wakil Dahlan tersebut juga sempat memojokkan balik para pemegang saham lain dengan menyebut tak elok penurunan kinerja hanya ditimpakan kepada satu pihak. Penurunan kinerja, menurutnya, adalah buah kesalahan kolektif para direksi.
Pernyataan itu muncul setelah Yohanes Hengky Wijaya yang mewakili Grafiti menyeret nama Azrul Ananda ketika pembacaan data menurunnya pendapatan Jawa Pos periode 2015-2017. Azrul dalam periode itu masih memimpin Jawa Pos Koran, sebelum mengundurkan diri dalam RUPS-LB pada 24 November 2017. Juga, karena desakan para pemegang saham yang mempertanyakan penurunan pendapatan.
Akan tetapi, GM yang hadir langsung dalam RUPS-LB tersebut menolak permintaan Dahlan tersebut. Ia yang menurut buku Bahari adalah motor pengambilan keputusan, tetap mendesak Dahlan mundur yang kemudian diamini Yohanes dan pemegang saham geng Tempo. Sebagai gantinya, Dahlan ditawari menjadi komisaris.
Dahlan dalam rapat tersebut hanya mendapat dukungan dari Tirza Samola, wakil keluarga Eric Samola. Mereka pun akhirnya kalah suara dan Dahlan pun resmi mundur. Statusnya kini hanya pemegang saham 10,20% di Jawa Pos dan tak pernah tercatat sebagai komisaris seperti tawaran GM dkk.
Pada 17 Februari 2022, saya menghubungi Imawan Mashuri untuk mengonfirmasi kejadian seperti tertulis di buku tersebut. Namun, ia hanya membenarkan kehadirannya sebagai wakil Dahlan dalam RUPS-LB. Ia tak mau bicara lebih lanjut seputar detail peristiwa di dalam RUPS-LB tersebut.
“Tanya Pak Dahlan saja. Jangan saya. Apalagi ini menyangkut orang tinggi-tinggi (GM dkk),” kata Imawan melalui telepon WhatsApp.
GM: Dahlan Masih Saya Harapkan Bersama Jawa Pos
Bahari dalam bukunya menyebut kengototan GM dalam RUPS-LB adalah upaya memagari Jawa Pos dari pengaruh kuasa Dahlan. Hal ini adalah buntut dari konflik keduanya yang sama-sama ingin mewariskan Jawa Pos kepada keturunannya: Hidayat Jati anak GM dan Azrul anak Dahlan.
GM kepada kami saat dikonfirmasi pada 6 Januari 2022 terkait peristiwa saat RUPS-LB, tak menjawab secara jelas. Melalui pesan WhatsApp, GM hanya menyatakan, “Dahlan masih saya harapkan bersama Jawa Pos.”
Saat kami tanyakan lagi, apakah GM menyampaikan harapan tersebut di forum RUPS-LB, ia menjawab: “saya kirim surat ke Dahlan. Anda baik juga cek ke Pak Harjoko (Trisnadi). Suratnya tentu masih ada kopinya.”
“Kesan saya soal ini digambarkan sebagai konflik yang seru,” imbuh GM sembari menyisipkan emoticon tertawa.
GM lantas menegaskan: “Aneh. Saya bahkan pernah menulis surat khusus ke Presiden Jokowi untuk membantu DI (Dahlan Iskan) dalam kasusnya dengan Jaksa Agung dulu. Persisnya saya lupa.”
“Saya tulis waktu Dahlan terancam ditahan,” imbuhnya. Dahlan memang pernah sempat ditahan oleh Kejati Surabaya karena dianggap bertanggung jawab atas kasus penjualan aset anak perusahaan PT WIRA (BUMN Pemda Jatim), meski kasusnya adalah 13 tahun sebelumnya. Kasusnya akhirnya dihentikan setelah ada kunjungan Luhut Panjaitan ke Surabaya ketemu Dahlan.
Kembali ke GM, sebenarnya masih membuka peluang Dahlan kembali ke Jawa Pos. Ia mengatakan, “Saya masih butuh Dahlan. Bagaimana posisinya, bisa dan harus dirembug bersama pimpinan yang lain.”
Kami menghubungi Harjoko Trisnadi pada 11 Januari 2022 dan membenarkan keberadaan surat yang disebut GM. Namun, menurut Harjoko, surat itu bukan terkait pengunduran diri Dahlan, melainkan penjelasan GM ihwal masuknya Hidayat Jati ke direksi Jawa Pos yang sempat ditolak Azrul.
“Azrul merasa tidak cocok dengan Jati. Makanya Goenawan merasa perlu memberi penjelasan kepada Dahlan,” kata Harjoko.
Surat itu, kata Harjoko dikirim GM di grup WhatsApp yang beranggotakan empat orang: Harjoko, Dahlan, GM, dan Fikri Jufry. Sayangnya, Harjoko sudah tak lagi menyimpan surat tersebut dengan alasan telah beberapa kali ganti gawai dan pesan terdahulu tidak tersinkronisasi.
Khusus ihwal RUPS-LB, Harjoko menyebut tak ada desakan dari pemegang saham agar Dahlan mundur. Sebaliknya, Dahlan sendiri yang mengundurkan diri karena tidak bisa fokus mengurus Jawa Pos akibat kesibukannya sebagai pejabat publik.
Seperti halnya GM, Harjoko pun mengaku tetap menginginkan Dahlan kembali mengurusi Jawa Pos. Tak hanya itu, Harjoko mengaku memberi saran kepada Dahlan agar memperbaiki hubungan dengan GM dan pimpinan Jawa Pos lainnya.
“Saya ini kan paling tua. Usia saya sudah 91 tahun. Semuanya itu junior saya, makanya saya ucapkan itu ke Dahlan,” kata Harjoko.
Saran tersebut, kata Harjoko, dipertimbangkan Dahlan, meskipun belum terlaksana. Pertimbangan ini tertulis dalam penggalan tulisan Dahlan di buku biografi Harjoko yang diluncurkan pada Juni 2021 lalu.
Begini penggalan tulisan Dahlan yang dimaksud Harjoko:
“Saya berusaha untuk selalu memenuhi saran Pak Harjoko. Toh semua saran itu untuk kebaikan manajemen dan kebaikan perusahaan. Tidak ada saran beliau yang untuk kepentingan pribadi beliau.
Rasanya hanya satu permintaan Pak Harjoko yang belum bisa saya penuhi. Meskipun sudah disampaikan berkali-kali. Saya akui saran itu bagus dan mulia. Saya merasa suatu saat harus memenuhi permintaan beliau itu. Toh tidak berat. Yakni memperbaiki beberapa hubungan pertemanan.”