Tergusur Serat Palilah, Nasib Pekerja Seks Bong Suwung Terkatung-katung

Tergusur Serat Palilah, Nasib Pekerja Seks Bong Suwung Terkatung-katung

Aya (37), bukan nama sebenarnya, seorang pekerja seks perempuan (PSP) tengah duduk termenung di atas saung kayu, dengan sebatang rokok di tangan, menunggu tamunya datang. Malam itu, adalah hari ketiga setelah Surat Peringatan (SP) 3 penggusuran rumahnya terbit.

Perempuan paruh baya itu termenung lantaran pemukiman sekaligus tempatnya bekerja di Kampung Bong Suwung, Kota Yogyakarta akan digusur Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia (PT KAI) Daop 6 Yogyakarta. Warga dianggap menduduki area milik mereka dan bekerja di sekitar rel kereta api Stasiun Tugu Yogyakarta. 

Bong Suwung terletak di Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta, bagian barat stasiun Tugu Yogyakarta. Jarak warung tempat para pekerja seks menunggu tamu hanya sekitar 20 meter dari rel kereta api.

“Saya bingung kalau nanti digusur. Saya dan keluarga harus tinggal dan bekerja di mana lagi,” kata Aya saat ditemui Deduktif di Kampung Bong Suwung, Sabtu, (21/9/2024) pukul 10 malam.

PT KAI meminta warga untuk segera mengosongkan rumah dengan mengeluarkan SP 3 pada 19 September lalu. Dasar hukum PT KAI menggusur Kampung Bong Suwung yaitu Serat Palilah yang diberikan Keraton Yogyakarta pada 1 Juli 2024 lalu.

Serat Palilah ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Datu Dana Suyasa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi. 

Serat Palilah adalah surat keputusan tentang pemberian izin pemanfaatan tanah Kasultanan atau Kadipaten untuk sementara waktu sebelum diterbitkannya Serat Kekancingan, atau izin tertulis mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah dari Kasultanan atau Kadipaten kepada masyarakat/institusi yang diberikan dalam jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang.

Aya mulai bekerja sebagai PSP di Bong Suwung sejak tahun 2013. Ia menawarkan jasa dengan memanggil atau menghampiri tamu yang lewat. Kadang ada juga tamu yang langsung menghampiri Aya, terutama para langganannya. 

Setelah negosiasi harga, Aya dan tamunya menuju kamar berbahan triplek dengan atap asbes, bak rumah bedeng yang disewakan pengelola lokalisasi Bong Suwung sebesar Rp10 ribu untuk hari biasa atau Rp20 ribu saat hari libur. Biaya sewa dibayarkan kepada warga yang memiliki bangunan.

Kamar berukuran 2x3 meter itu cukup untuk menampung kamar mandi sederhana berukuran 50x50, sebuah kasur berukuran single, bantal, selimut, handuk, cermin, lampu untuk penerangan, dan kipas angin sebagai pendingin ruangan. Per malam, para pekerja seks di Bong Suwung harus membayar retribusi sebesar Rp10.000 kepada pengelola lokalisasi.

Sebelum masa-masa sengketa dengan PT KAI, sehari-hari, Aya bisa mendapat hingga empat orang tamu dengan penghasilan sekitar Rp300 ribu. Ia memasang tarif sekitar Rp70-120 ribu per tamu. Jika malam minggu atau hari libur, penghasilannya bisa lebih dari Rp500 ribu. 

Sementara sang suami yang bekerja sebagai petugas keamanan di Bong Suwung mendapat penghasilan bersih sebesar Rp500 ribu per bulan. Dari penghasilan tersebut, keluarga Aya menghidupi dua anak yang masih duduk di bangku SD dan SMA dengan uang saku per hari sebesar Rp50 ribu untuk kedua anaknya, membayar uang kontrakan Rp600 ribu per bulan, dan keperluan harian sebesar Rp15 ribu.

Namun, setelah isu penggusuran mulai mencuat pada Juli lalu, apalagi setelah PT KAI mengeluarkan SP 1 pada 4 September, tamu yang datang semakin sepi hingga membuat pendapatan Aya menurun drastis. Dalam sehari, ia hanya mendapat satu tamu saja dengan penghasilan Rp120 ribu, belum dipotong sewa kamar dan retribusi. Sekarang, pendapatan bersih yang ia terima hanya Rp90 ribu saja.

“Pernah nggak dapat sama sekali. Jadi satu saja sudah mending, alhamdulillah buat makan,” ucapnya. Di bawah sinar temaram, Aya mengusap sudut mata dengan tanktop merah jambu yang ia kenakan.

Terkadang jika tidak mendapatkan penghasilan dan tidak bisa diberikan uang saku, ia terpaksa meminta anaknya bolos sekolah. Anak laki-lakinya sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di daerah Bantul, Yogyakarta yang berjarak sekitar 3,6 kilometer dari rumah. Sementara putrinya saat ini kelas 3 di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di sekitar rumahnya.

Aya belum punya bayangan jika nanti Kampung Bong Suwung benar digusur oleh PT KAI. Termasuk bagaimana nasib pendidikan kedua anaknya yang bersekolah di dekat Bong Suwung. Ia khawatir biaya sewa di tempat baru lebih mahal dan jarak sekolah kedua anaknya jadi lebih jauh. 

Bong Suwung telah menjadi tempat ternyaman Aya dengan semua warga yang ia anggap sebagai keluarga. Aya sempat menitip harap agar pemerintah memberi pekerjaan dan tempat tinggal layak untuk mencukupi kehidupan warga yang tergusur.

Pekerja seks transpuan di Bong Suwo, Angel (50), bukan nama sebenarnya, merasakan kecemasan seperti Aya. Kampung Bong Suwung sudah menjadi pusat kehidupannya selama ini. Sebelum isu penggusuran, Angel bisa mendapat tiga sampai lima tamu dalam semalam. Penghasilan yang ia terima sekitar Rp250 ribu setelah dipotong sewa kamar dan retribusi.

Namun, setelah mendengar informasi Bong Suwung akan digusur, para tamu yang datang berkurang drastis. Tamunya hanya satu sampai dua orang saja, dengan total pendapatan sekitar Rp100 ribu. Bahkan, pernah selama dua hari Angel tidak mendapat tamu sama sekali. 

Alhasil ia putar otak untuk menjemput tamu. Angel tak tinggal di Bong Suwung, jarak dari rumahnya ke Bong Suwung sekitar 20 menit. Selama perjalanan itu, Angel mencoba menawarkan jasanya kepada orang-orang yang ditemui di jalan. 

“Kalau ketemu di jalan aku ajakin saja ‘main’ di kos biar lebih murah. Jadi nggak perlu bayar uang kamar (di Bong Suwung),” kata Angel saat ditemui Deduktif, Sabtu, (20/9/2024) dini hari.

Apabila tempat kerjanya digusur, Angel tak tahu harus bekerja ke mana lagi. Usianya yang saat ini sudah memasuki setengah abad, sehingga sulit mencari pekerjaan.

“Sekarang di Jogja ini kan tempat transpuan itu sudah nggak ada lagi. Satu-satunya ini (Bong Suwung) yang bikin kami hidup, nyari makan ya di sini,” ucapnya.

Angel sebetulnya mau saja jika ditawari pekerjaan lain, sebagai tukang bersih-bersih misalnya. Namun label sebagai transpuan dan pekerja seks sering membuatnya kena stigma ganda. 

“Yang terpenting dapat membayar indekos. Kalau makan, aku makan mie atau tempe saja sudah cukup. Nggak terlalu dipikirin,” ujarnya. Jumlah pekerja seks di Bong Suwung saat ini sekitar 74 orang. Sebanyak 10 orang di antaranya merupakan pekerja seks transpuan.


Sulitnya Pemantauan HIV saat Lokalisasi Tutup

Koordinator Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) DIY, Luna Suprihatun menyebut, alih-alih membubarkan lokalisasi seperti Kampung Bong Suwung, para pekerja seks seharusnya diakomodir, sehingga Dinas Kesehatan (Dinkes) Yogyakarta lebih mudah melakukan tes kesehatan kepada para pekerja seks. 

Tes kesehatan yang dimaksud harus dilakukan setiap tiga bulan sekali, seperti mengecek Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS), sipilis, serta Infeksi Menular Seksual (IMS). Penggusuran juga bakal menyulitkan distribusi kondom serta penyediaan antiretroviral (ARV) yang selama ini dilakukan lewat Kelompok Kerja (Pokja) dari Dinkes DIY.

“Penggusuran memperburuk tingkat penularan HIV di Jogja, karena penjangkauan terhadap kelompok populasi kunci tidak lagi dapat dilakukan secara efektif,” kata Luna kepada Deduktif di Kantor Vesta, Kota Yogyakarta, (25/9/2024).

Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan DIY periode tahun 1993-2024, data kasus orang dengan HIV (ODHIV) di Yogyakarta ada 8.195 kasus. Sebanyak seperempat kasusnya (2.313 orang) adalah orang dengan AIDS (ODHA).

Terdapat sekitar 232 kasus HIV dan 30 kasus AIDS pada pekerja seks di Yogyakarta. Namun secara umum terdapat 1.721 kasus ODHIV  di Yogyakarta; Kabupaten Bantul 1.834 kasus; Kabupaten Kulon Progo 452 kasus; Kabupaten Gunung Kidul 681 kasus; Kabupaten Sleman 2.052 kasus; luar DIY 1.339 kasus; dan tak diketahui wilayahnya sebanyak 116 kasus.

Sementara itu untuk kasus ODHA di Kota Yogyakarta terdapat 330 kasus; Kabupaten Bantul 557 kasus; Kabupaten Kulon Progo 149 kasus; Kabupaten Gunung Kidul 338 kasus; Kabupaten Sleman 535 kasus; luar DIY 364 kasus; dan tak diketahui wilayahnya 40 kasus.

Menukil dari laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2019, program gabungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HIV-AIDS memperkirakan prevalensi HIV rata-rata sebesar 36% di antara pekerja seks. Sementara prevalensi rata-rata sifilis aktif yang dilaporkan di antara pekerja seks adalah 10,8%. 

Selain itu, ketika para pekerja seks berpencar, dikhawatirkan keamanan mereka lebih terancam karena tidak ada paguyuban yang menaungi. Misalnya pekerja seks rentan mengalami kekerasan seksual dari tamu maupun pihak lain, atau terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

“Beda ketika mereka punya ruang untuk pekerja seks, ada Dinas Kesehatan dan LSM yang terlibat. Selain itu kontrolnya akan lebih mudah ketika mereka tinggal di suatu lokasi,” tutur Luna.

Padahal, masih menurut WHO, studi pemodelan terhadap dekriminalisasi pekerja seks dapat menurunkan risiko infeksi HIV baru pada pekerja seks dalam 10 tahun sebanyak 46%. Sementara penghapusan kekerasan seksual terhadap pekerja seks mengurangi 20% infeksi HIV baru.

“WHO mendorong negara-negara di dunia mengatasi hambatan struktural ini, memberikan hak asasi manusia bagi pekerja seks, dan menerapkan layanan kesehatan komprehensif untuk HIV dan IMS lain,” tulis WHO.

Kronologi Penggusuran Bong Suwung

2013

Ketua Paguyuban Warga Bong Suwung, Jati Nugraha menjelaskan, informasi penggusuran sebenarnya sudah ada sejak tahun 2013 lalu

31 Juli 2024

Kabar tersebut makin santer saat PT KAI melakukan sosialisasi kepada warga Bong Suwung bersama Pemerintah Kota Yogyakarta, Panitikismo/Keraton Yogyakarta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Yogyakarta terkait rencana sterilisasi Bong Suwung.

Pada pertemuan tersebut, PT. KAI menunjukkan Serat Palilah dari Panitikismo/Keraton Yogyakarta, kemudian mereka akan melakukan sterilisasi di kawasan Bong Suwung.

Karena terdapat Serat Palilah, warga Bong Suwung pun pasrah menyetujui. Meski pada saat sosialisasi terdapat perbedaan data kependudukan yang dimiliki PT KAI yang berjumlah 64 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan data riil warga Bong Suwung berjumlah 76 KK.

7 Agustus 2024

PT KAI melakukan pengukuran luasan bangunan. Sebagian besar warga setuju atas penggusuran tersebut pada pukul 09.00 WIB. Namun, beberapa warga menolak, sehingga terjadi cekcok antara petugas dengan warga.

13 Agustus 2024

PT KAI melakukan sosialisasi kedua bersama warga Bong Suwung di kantor kecamatan Gedongtengen pada pukul 09.00 WIB. Pada pertemuan tersebut, biro hukum PT KAI menyebut bakal memberi ongkos bongkar bangunan sebesar Rp150 ribu per meter. Sedangkan mengenai nasib para pekerja seks di sana bukan tanggung jawab PT KAI. 

“Warga Bong Suwung tidak menyepakati pemberian nominal tersebut,” kata Nugraha saat ditemui Deduktif di Saung Warga Bong Suwung, Jumat, (20/9/2024).

4 September 2024

DPRD Yogyakarta melakukan audiensi dengan warga Bong Suwung dan PT KAI. Dalam pertemuan tersebut, Ketua sementara DPRD DIY, Nuryadi meminta kepada PT KAI tidak melakukan tindakan eksekusi saat sterilisasi dalam waktu dekat. 

5 September 2024

Warga meminta kepada PT KAI agar membuat pagar di area kiri dan kanan rel kereta api, supaya tidak ada warga yang berkeliaran lagi di sekitar rel. Namun, bukannya mendengar aspirasi warga, PT KAI malah mengeluarkan Surat Peringatan Pertama (SP 1) dengan nomor surat KA.203/IX/1/DO.6-2024. Intinya berisi bakal melakukan penertiban atau pengosongan pemukiman Bong Suwung. 

9 September 2024

Setelah mendapat SP I, Aliansi Bong Suwung melayangkan surat untuk permohonan audiensi kepada Sri Sultan HB X di komplek Keraton Ngayogjakarta, DPR RI, Ombudsman RI, hingga Presiden Jokowi. Dari surat tersebut, Aliansi Bong Suwung dihubungi oleh pihak Keraton bahwa Sri Sultan tidak bisa mengagendakan audiensi dalam waktu dekat karena sibuk.

13 September 2024

PT KAI Daop 6  Yogyakarta memberikan Surat Peringatan kedua (SP 2). 

19 September 2024

Belum ada satu minggu, PT KAI melayangkan SP 3. Warga diminta untuk melakukan pengosongan lahan paling lambat tujuh hari sejak surat diterima.

24 September 2024

10.00 WIB

Lima perwakilan Aliansi Bong Suwung melakukan audiensi bersama PT KAI Daop 6 Yogyakarta dan DPRD DIY untuk membahas permasalahan penggusuran tersebut di Kantor PT KAI Daop 6 Yogyakarta. Dalam keputusan pertemuan, Biro hukum PT KAI Daop 6, Aji menyampaikan akan memberikan ganti rugi kepada warga Bong Suwung yang terdampak penggusuran. Singkatnya, warga setuju.

Untuk bangunan permanen, akan diberi ganti rugi sebesar Rp250 ribu per meter dan bangunan semi permanen Rp200 ribu per meter. Sementara untuk ongkos angkut barang sebesar Rp500 ribu. PT KAI juga menyediakan truk untuk membantu warga melakukan pengangkutan.

“PT KAI sudah bisa melaksanakan penggusuran pada Kamis depan (3 Oktober 2024),” kata Aji dalam pertemuan tersebut, seperti disiarkan oleh Instagram @pbhi_jogja.

Sementara di luar Kantor PT KAI, sekitar 70-an massa aksi yang terdiri dari warga Bong Suwung, pekerja seks, mahasiswa, hingga warga Yogyakarta yang melakukan demonstrasi menolak penggusuran. Sejumlah poster berisi tuntutan dibentangkan warga. Salah satu poster bertuliskan: 

“Penggusuran Bong Suwung Adalah Bentuk Pengkhianatan Negara Terhadap Rakyatnya.”

12.30 WIB

Perwakilan Aliansi Bong Suwung menghampiri massa aksi. Nugraha menyampaikan keputusan PT KAI Daop 6 Yogyakarta. Kemarahan warga memuncak lantaran tak terima atas putusan tersebut. Massa pun melanjutkan aksi di Kantor Wali Kota Yogyakarta dengan menaiki bus sewaan.

13.30 WIB

Massa aksi tiba di Kantor Wali Kota. Mereka kembali melakukan aksi untuk menuntut hak mereka agar tidak digusur oleh PT KAI Daop 6 Yogyakarta. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemkot Yogyakarta, Yunianto Dwisutono pun menghampiri massa aksi. Ia mengatakan akan membicarakan permasalah tersebut dengan Wali Kota Yogyakarta, PT KAI Daop 6 Yogyakarta, dan pihak terkait lain.

“Kami akan mencari solusi terbaik terkait dengan program pemerintah. Jadi Pemkot itu salah satu lokus (lokasi fokus). Sementara tanah itu dikuasai oleh PT KAI. Nanti kami Pemkot akan berupaya untuk mencari solusi,” kata Yunianto di Kantor Wali Kota Yogyakarta, Selasa, (24/9/2024).

Namun ketika ditanya apa solusi yang ditawarkan oleh Pemkot Yogyakarta, ia mengelak. Menyaksikan pejabat Wali Kota Yogyakarta yang tak memberikan solusi pasti, kemarahan warga semakin memuncak. Warga menangis histeris di halaman Wali Kota Yogyakarta. Bahkan dua warga pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit dengan ambulan.

3 Oktober 2024

PT KAI mengerahkan 400 personel, terdiri dari TNI-Polri, Satpol PP, dan PLN untuk menggusur pemukiman Bong Suwung.

9 Oktober 2024

Sebanyak 9 warga tinggal di Shelter PKBI Taman Siswa Yogyakarta

10 Oktober 2024

Aliansi Bong Suwung berencana melayangkan gugatan PT KAI ke PTUN Yogyakarta.

Penggusuran Hanya Pakai Serat Palilah

“Pemerintah Yogyakarta merupakan representasi dari masyarakat. Seharusnya pemerintah berpihak kepada masyarakat,” seru Ana Maria, Pengacara Publik Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dalam orasinya di di Kantor Wali Kota Yogyakarta, Selasa, (24/9/2024).

Pernyataan Ana seolah menegaskan adanya cacat mekanisme dalam aksi penggusuran Bong Suwung. Dan benar saja, Kuasa Hukum Bong Suwung, Restu Baskara mengatakan PT KAI Daop 6 Yogyakarta melakukan penggusuran lahan milik warga hanya menggunakan Serat Palilah. 

Serat Palilah memperbolehkan pemanfaatan tanah kasultanan hanya untuk sementara waktu. Restu menyatakan, Serat Palilah tidak bisa dijadikan dasar melakukan penggusuran karena sifatnya hanya sementara dan tidak permanen seperti Serat Kekancingan.

“Serat Palilah hanya semacam pengantar sebelum terbitnya surat kekancingan. Tapi PT KAI merasa punya wewenang penuh untuk mengatur semua yang ada di sini, termasuk kawasan Bong Suwung,” kata Restu kepada Deduktif, Sabtu, (21/9/2024).

Restu—yang juga merupakan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Yogyakarta–menilai PT KAI Daop 6 Yogyakarta melanggar sejumlah aturan hukum. Pertama, Pasal 84 Ayat (2) Undang-Undang Perkeretaapian yang menjelaskan jika pembangunan prasarana perkeretaapian disosialisasikan kepada masyarakat, baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaannya, terutama yang tanahnya diperlukan. Tetapi pada implementasinya, PT. KAI Daop 6 Yogyakarta baru melakukan sosialisasi saat rencana penggusuran sudah disepakati bersama Keraton Yogyakarta. 

Begitupun dengan Pemerintah Kota Yogyakarta yang akan melakukan pembangunan di sepanjang jalur rel kereta api. Keduanya berhubungan dengan rencana tata ruang wilayah Yogyakarta, tetapi tidak melibatkan masyarakat Bong Suwung yang terdampak kebijakan tersebut.

“Ini mengesampingkan hak masyarakat yang seharusnya dilibatkan dan ada pelanggaran prosedur pembangunan wilayah oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan PT. KAI,” ucapnya.

PT KAI juga diduga melakukan pelanggaran Pasal 4 Ayat 2 Rencana Induk Perkeretaapian DIY tahun 2017-2036 yang menyebut bahwa strategi pengembangan perkeretaapian diupayakan untuk tidak melewati kawasan pemukiman padat. Sedangkan di kawasan Bong Suwung adalah pemukiman padat penduduk.

Restu menjelaskan, meski PT KAI Daop 6 Yogyakarta telah memberikan ganti rugi kepada 75 KK, namun jumlah dan mekanisme penggantiannya tidak sesuai kesepakatan. Ganti rugi yang diberikan untuk setiap bangunan semi permanen sebesar Rp200.000 per meter. Rata-rata warga menerima ganti rugi sebesar Rp1,5-25 juta.

Pada waktu terpisah, Rabu (9/10), Restu mengatakan melalui diskusi yang digelar secara daring, PT KAI Daop 6 Yogyakarta melakukan intimidasi kepada warga Bong Suwung. Ketika waktu penggusuran berlangsung pada 3 Oktober 2024, perusahaan BUMN tersebut mengerahkan sebanyak 400 personel, diantaranya 300 petugas PT KAI dan 100 aparat gabungan dari TNI-Polri, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan petugas Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Warga tidak diizinkan berada di area kawasan penggusuran, para aparat kepolisian membangun tenda di area tersebut.

“Biro hukum (PT KAI) ingkar janji. Warga juga tidak bisa ambil sisa bangunan yang masih bisa dimanfaatkan,” tutur Restu.

Pascapenggusuran, warga yang tidak memiliki modal untuk mencari tempat tinggal, terpaksa harus tinggal di Shelter Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta. Per 9 Oktober 2024, tercatat sebanyak sembilan warga yang tinggal di shelter tersebut. Mereka pun saat ini tidak memiliki tempat untuk bekerja.

Sementara itu Koordinator OPSI DIY, Luna mengatakan para pekerja seks saat ini jadi menyebar di beberapa daerah Yogyakarta. Sementara para transpuan bekerja di jalan sebagai pengamen. Tak ayal mereka mendapat kekerasan dan diskriminasi dari warga sekitar.

“Mereka dimaki-maki warga, pakai pentungan untuk menakut-nakuti. Ketika mau pindah ke lokalisasi lain, misal di Pasar Kembang (Sarkem), harus mengeluarkan uang lagi,” tuturnya.

Restu melanjutkan, warga akan melayangkan gugatan terhadap keputusan PT KAI Daop 6 Yogyakarta dan juga pemerintah Yogyakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Pasalnya, kebijakan yang dikeluarkan minim kompensasi terhadap warga Bong Suwung. 

“Gugatan bisa dilakukan oleh warga langsung, atau selaku lembaga yang peduli terhadap kondisi tersebut,” tuturnya.

Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Krisnadi Setyawan turut merespons kasus Bong Suwung, ia pernah pula menyarankan warga mengungsi di Kantor DPRD DIY sambil melakukan perlawanan. Pasalnya, Serat Palilah dikeluarkan oleh pihak Keraton Yogyakarta. Artinya selain PT KAI, pihak Keraton Yogyakarta berkewajiban untuk memberikan biaya ganti rugi kepada warga Bong Suwung.

Politikus Partai Gerindra itu pun mencontohkan ketika pemerintah melakukan penggusuran kepada 50 kepala keluarga (KK) di RW 14 Kelurahan Panembahan, Kemantren Keraton, Kota Yogyakarta untuk membangun Pojok Benteng Lor Wetan. Meski tanah tersebut milik Keraton Yogyakarta, warga diberi biaya ganti rugi oleh pemerintah. Nilai yang diterima warga terdampak jumlahnya bervariasi antara Rp80 juta hingga Rp300 juta.

Krisnadi juga mencontohkan penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL) Malioboro pada tahun 2022 lalu. Para PKL direlokasi ke eks gedung Bioskop Indra dan eks kantor Dinas Pariwisata yang sekarang menjadi Teras Malioboro I dan Teras Malioboro II. Ia menyayangkan cara  yang sama tak dilakukan pada  warga Bong Suwung.

“Keraton Yogyakarta dapat untung dengan menyewakan tanah ke PT KAI. Harusnya keraton memberi CSR (tanggung jawab sosial) ke warga Bong Suwung. Atau pakai dana keistimewaan dari Pemda, ditempatkan di rusunawa milik Pemerintah DIY,” kata Krisnadi kepada Deduktif, Kamis, (10/10/2024).

Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) wilayah DIY, Budhi Masthuri pernah mencoba menengahi masalah ini dengan melakukan audiensi bersama Aliansi Bong Suwung. ORI DIY lalu menyurati PT KAI Daop 6 Yogyakarta untuk mempertimbangkan pengosongan Kampung Bong Suwung sampai dengan pihaknya selesai memeriksa laporan warga. 

“PT KAI memang harus menempatkan warga dalam porsi sebagai entitas sosial. Di sana banyak orang yang menemukan kondisi lebih baik dari tempat asalnya karena ditolak akibat status pekerjaannya (sebagai pekerja seks),” tuturnya.

Namun setelah mempelajari duduk perkara, Budhi menyimpulkan meski hanya bermodal Serat Palilah, PT KAI Daop 6 Yogyakarta tetap memiliki kekuatan melakukan penggusuran dan melakukan revitalisasi. Dugaan maladministrasi kasus ini hanya bisa diverifikasi apabila PT KAI Daop 6 Yogyakarta menggusur tanpa kesepakatan warga Bong Suwung.

“Masalahnya kan warga sudah sepakat. Itu yang membuat kami kemudian berhenti menindaklanjuti,” ucapnya.

Respons PT KAI & Pemprov DIY

Tak terima dianggap maladministrasi, PT KAI Daerah Operasi 6 Yogyakarta mengklaim telah melakukan sosialisasi kepada warga sejak tahun 2010 lalu. Namun, setelah mendapatkan Serat Palilah dari Keraton Yogyakarta, PT KAI Daop 6 baru melakukan sterilisasi di Kampung Bong Suwung.

Manajer Humas Daop 6 Yogyakarta, Krisbiyantoro menyatakan, penggusuran dengan menggunakan Serat Palilah, secara hukum sama seperti memakai Serat Kekancingan. Ia malah balik bertanya soal dasar hukum warga menempati area pemukiman Bong Suwung.

“Kalau warga tidak ada kekuatan hukum, mending nggak usah tanya keabsahannya. Apalagi kita tuh BUMN kan,” kata Kris kepada Deduktif, Senin, (14/10/2024).

Bahkan ia mengklaim sterilisasi dilakukan secara kondusif tanpa tindakan represif dari petugas penggusuran. Penggusuran juga dilakukan untuk menjaga keselamatan perjalanan kereta api di area perlintasan Kampung Bong Suwung. Namun yang paling penting, adalah keselamatan warga yang berada di sekitar perlintasan kereta api.

“Kita tidak mau ada kejadian (kecelakaan) terlebih dahulu, sehingga kita melakukan tindakan dahulu yaitu dengan mensterilkan lingkungan emplasmen stasiun,” ucapnya. 

Emplasemen merupakan tempat terbuka atau tanah lapang yang difungsikan sebagai satuan bangunan atau jawatan dari kereta api. Setelah Kampung Bong Suwung, Kris mengatakan PT KAI Daop 6 Yogyakarta akan mengembangkan emplasemen dan perubahan jalur kereta api Stasiun Tugu Yogyakarta. 

Merespons harapan warga agar PT KAI melakukan pemagaran di sekitar rel kereta api. Krisbiyantoro mengatakan hal tersebut sudah dilakukan sejak lama di warung-warung pinggir rel kereta api. Sementara untuk permintaan relokasi, ia mengatakan, bukan merupakan kewenangan PT KAI Daop 6 Yogyakarta.

“Alasannya karena tanah yang mereka tempati tidak resmi, bukan tanah mereka,”tuturnya.

Pernyataan PT KAI, diamini oleh Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Beny Suharsono. Ia menyatakan Serat Palilah maupun Serat Kekancingan memiliki dasar hukum yang sama untuk memberi kewenangan kepada PT KAI melakukan revitalisasi di Kampung Bong Suwung. Namun ia membuka peluang agar warga mendapat ganti rugi setimpal.

“Makanya terus kita minta ke PT KAI untuk berbicara dengan warga. Nominalnya berapa besar? (ganti ruginya) akan kita selesaikan,” kata Beny kepada Deduktif, Rabu, (16/10/2024).

Ia mengatakan warga yang belum memiliki tempat tinggal dapat menghubungi pemerintah kota Yogyakarta agar dapat disediakan shelter singgah sementara. Sementara ia menawarkan solusi pemeriksaan populasi kunci HIV/AIDS ke fasilitas pelayanan kesehatan DIY terdekat. Pemprov DIY berjanji akan bekerjasama dengan komunitas untuk menangani hal tersebut.

“Kondisi itu (pemeriksaan kesehatan rutin pada PS) tetap tidak boleh ditolak. Wajib dilayani (pemeriksaan kesehatan) bagi semua warga Yogyakarta,” pungkasnya.