Toko Fisik Terbenam, Senjakalanya Tak Cuma di Tanah Abang

Toko Fisik Terbenam, Senjakalanya Tak Cuma di Tanah Abang

Wajah Wahyu yang begitu kisut sudah tampak sejak tujuh langkah dari mulut elevator Lantai II Blok A Pasar Tanah Abang. Di atas rak kabinet kaca yang tingginya sekitar satu setengah meter, Wahyu menopang dagu dengan salah satu tangan.

Beberapa pengunjung memang terlihat menjinjing pakaian yang mereka beli di depan Wahyu. Tapi hari itu belum ada satu pun yang memboyong batik dari tokonya.

“Dua minggu ini cuman kejual kurang dari sepuluh potong,” ketus Wahyu di Rabu siang, (25/9/2023) yang begitu terik.

Sudah sejak 2016, Wahyu berjualan batik di Pasar Tanah Abang. Setiap hari ia bolak-balik dari Parung, Kabupaten Bogor, ke Pasar Tanah Abang untuk berjualan. Hajat hidup dan kebutuhan keluarganya bergantung dari keuntungan berjualan batik.

Kini usianya telah kepala empat dan ada dua anak—yang masih bersekolah di SD dan SMP—yang mesti Wahyu tanggung biaya sekolahnya.

Saban tujuh tahun berjualan batik, 2023 menjadi tahun paling amblas bagi Wahyu. Berkali-kali ia mesti memutar otak untuk tetap bertahan. Pilihannya hanya dua: menyiasati penjualan yang kian menurun atau kembali membuka pemancingan galatama di kolam ikan air tawar milik bapaknya.

Wahyu menjual batik formal berbahan kain mori, katun, dan shantung. Ia tidak menjual batik dengan kualitas lebih, semisal sutera grade tinggi atau dobi. Pangsa pasarnya menyasar menengah ke bawah, sehingga harga yang dibanderol pun berkisar Rp100-Rp150 ribu per potong.

Semua batik yang Wahyu jual di toko, berasal dari konveksi di Bandung. Mayoritas pedagang batik di Pasar Tanah Abang memakai jasa konveksi di daerah tersebut, termasuk untuk urusan beli bahan. Wahyu hanya sesekali membeli bahan dari Jakarta.

Sejak pandemi menghantam, penjualan di toko batik Wahyu mengalami penurunan. Meski Wahyu memasarkan juga produknya di beberapa market place seperti Shopee dan Tokopedia, omzetnya tak sesignifikan penjualan di masa sebelum pagebluk.

Belakangan, ketika banyak penjual pakaian murah di TikTok, Wahyu meyakini penjualannya ikut terkena imbas. Seperti jamur di musim penghujan, kemunculan penjual-penjual di TikTok itu begitu masif dan subur.

Pergeseran perilaku pembeli ke platfom belanja daring membuat Wahyu megap-megap.

Ketika penjualan batiknya terus menurun, biaya sewa toko sebesar Rp50 juta per tahun dan iuran serta tetek-bengek lainnya, tetap harus dibayar.

“Kalau dulu sih dari keuntungan penjualan sebulan udah bisa kebayar. Nah sekarang morat-marit. Mesti muter otak buat bayar tagihan sewa dan lain-lain,” imbuh Wahyu.

Biasanya, di momen seperti lebaran atau liburan sekolah, penjual-penjual busana di Pasar Tanah Abang kebanjiran pembeli. Tapi itu tak berlaku untuk batik.

Ketika penjualan batiknya lesu, ada saja hal yang merugikan Wahyu. Satu waktu, bahan dan motif batiknya pernah dicuri orang dengan kedok calon pembeli dalam partai besar.

“Mereka bawa kamera (kamera profesional), foto-foto semua batik di toko saya, tanya soal motif dan bahan. Detail sekali pokoknya,” urai Wahyu.

Singkat cerita, selang beberapa waktu Wahyu menemukan produk dengan motif dan bahan yang sama dijual di Facebook maupun market place lain. Para penjual pakaian lain di Tanah Abang jamak mengalami modus penipuan serupa Wahyu.

“Sudah sepi pembeli, pemerintah nggak bisa mengamankan penjual-penjual seperti di TikTok Shop yang pasang harga jauh dari yang kita jual,” tutup Wahyu.

Selain Wahyu, ada juga pasangan penjual Abdullah Labib (40) dan Elly (30). Mereka berdagang kaus di Blok F Lantai III. Toko mereka, Elly Collection, sudah lesu penjualannya selama bulan September 2023.

“Dari tadi pagi sampai sekarang kondisinya seperti ini, nggak beda jauh. Bayangin, sampai jam sebelas siang baru empat kaos yang terjual,” keluh Elly saat ditemui di tokonya, Senin, (25/9/2023).

Sama seperti praduga Wahyu, Elly juga menganggap faktor sepinya penjualan di Pasar Tanah Abang merupakan imbas dari TikTok Shop. Kendati saat berkisah lebih lanjut, merosotnya penjualan toko Elly Collection sudah terasa saat pandemi.

Dulu, dalam satu pekan mereka bisa menjual minimal seribu potong kaus. Kini, menjual lima ratus potong saja susah payah.

Abdullah dan Elly berjualan kaus lengan pendek dan panjang sejak tahun 2015. Bahannya mereka beli di Jakarta lalu dijahit ke konveksi di Bandung. Harga kaus lengan pendek kisaran Rp60-70 ribu. Sedangkan kaus lengan panjang, berada di harga Rp70-90 ribu.

Abdullah maupun Elly, bukan berasal dari Jakarta. Mereka perantau dari Semarang dan menyewa rumah kontrakan di daerah Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ketiga anaknya berada di kampung halaman, saban bulan mereka pulang menjenguk anak ke Semarang.

“Yang paling dekat, kita harus menyiapkan biaya anak sulung masuk kuliah. Betul-betul pening. Pilihannya hanya berhutang ke konveksi, top-up modal lagi, atau tutup toko sekalian,” kata Abdullah sembari mengemas kaus di atas rak kabinet kaca.

Pasangan ini bukan tak berusaha merambah penjualan daring. Elly sempat menjajal TikTok Shop. Namun, jangankan ada yang membeli, penontonnya saja kurang dari jumlah jari di kedua tangan.

Elly langsung merasa kalah telak dengan penjual kaus lain di Tiktok Shop.

Banyak konsumen telah merubah pola belanja mereka, dari mengunjungi toko fisik menjadi serba daring, terlebih setelah pandemi. Kejayaan toko fisik sebagai pusat perbelanjaan nyata usai. Senja kalanya tak cuma di Tanah Abang saja, tapi rata di berbagai tempat.

Nurman Abdi pemilik grosir pakaian di Blok A Lantai I Pasar Cipulir juga kena imbas.

“Kami semua sudah dengar kabar Pasar Tanah Abang sepi pembeli dari pertengahan tahun lalu. Di sini juga sama, Betul-betul sepi karena TikTok, ngaruh banget ke kita. Omzet turun gede-gedean,” urai laki-laki kelahiran tahun 1978 itu.

Toko Nurman sudah jarang dapat pembeli kulakan (wholesale). Bahkan pembeli eceran pun makin berkurang jumlahnya.

“Terakhir yang beli kulakan di minggu lalu, 40 potong gamis untuk anggota majelis. Sementara yang eceran, tiga hari ini baru laku tiga potong gamis,” imbuh Nurman.

Di Toko Jaya Pasar Cipulir, Nurman menjual gamis. Rata-rata ia menjual dengan harga Rp200 ribu. Untuk kualitas yang lebih bagus dan bahan yang lebih mahal, Nurman menjualnya kisaran Rp400 ribu.

Nurman mengambil produk gamis dari konveksi di Bandung dan Bogor. Sementara bahan ia beli di Jakarta. Dalam setahun, Nurman mesti membayar uang sewa toko sebesar Rp25 juta, menanggung biaya produksi konveksi, bayar iuran di Pasar Cipulir, bayar pegawai, dan pengeluaran printilan lain secara berkala.

Tahun 2022 lalu, Nurman masuk rumah sakit karena diabetes. Setelah itu ia jadi sakit-sakitan, padahal masih menanggung hidup istri dan tiga anak di Parung Serab.

Di penghujung obrolan siang itu, Nurman berandai-andai, jika saja pemerintah bisa membuat aturan yang melindungi pedagang sepertinya, mungkin tak akan ada gejolak yang terjadi karena ulah para “pemakan harga”.

Nurman tidak tahu akan menjalani hidup seperti apa jika keadaan terus memburuk. Terasa gelap baginya.

Udahlah hapus saja TikTok. Yang kena imbas kita yang bergantung hanya dari toko offline. Makin tercekik jika bersaing dengan TikTok yang murah banget,” Nurman bersungut sembari mengarahkan telunjuk ke telepon selulernya.

 

Memupuk Kenangan di Tanah Abang

Di salah satu sudut Blok A Pasar Tanah Abang yang kiri-kanannya dijejali toko pakaian anak dan dewasa, Aini, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di bilangan Petamburan, Tanah Abang, tengah berkeliling.

Tas-tas belanjaannya dipenuhi celana dan kaus yang baru saja ia beli di lapak penjual baju Tanah Abang. Meski preferensi belanja masyarakat sudah banyak bergeser ke toko daring. Aini memilih tetap setia pada Tanah Abang.

Menurut data Bank Indonesia yang dinukil dari Laporan Perilaku Konsumen e-Commerce Indonesia 2023 oleh Katadata Insight Center dan Kredivo, nilai transaksi e-Commerce  selalu naik setiap tahun. Setidaknya rata-rata sebesar 48% per tahun.

Nilai transaksi ini melonjak gila-gilaan pasca pandemi. Di tahun 2018 nilai transaksi e-Commerce mencapai Rp106 triliun. Kemudian di tahun 2022, angkanya naik menjadi Rp476,3 triliun.

Pandemi Covid-19 mengubah aktivitas masyarakat menjadi minim kontak fisik, ditambah masifnya transformasi digital, membuat e-Commerce memimpin pasar jual beli, mencapai 178,9 juta orang atau 65% dari total populasi di tahun 2023.

Ya, bayangkan saja, untuk bisa berbelanja di toko fisik seperti di Tanah Abang, seorang pembeli harus keluar uang parkir setidaknya mencapai Rp35-50 ribu.

Nominal parkir itu jika dihitung untung-rugi bisa menjadi pengganti ongkos kirim belanja daring, sekaligus makan satu porsi bakso urat besar, lengkap dengan segelas es teh lemon.

Konsumen tidak perlu datang ke lokasi, cukup menunggu di rumah, barang sampai, dan perut pun kenyang.

Tapi Aini adalah paradoks. Sejak kecil, perempuan berusia tiga puluh sembilan tahun ini terbiasa berbelanja ke Pasar Tanah Abang. Karena dekat dengan rumah, ibunya kerap mengajak Aini berbelanja ke sana ketika masih kanak-kanak.

“Menjelang Idul Fitri, ibu selalu ngajak saya dan kakak buat belanja pakaian ke Tanah Abang. Sampai sekarang, saya juga mengajak anak buat belanja ke sini,” kenang Aini.

Ada beberapa alasan yang membuat Aini masih berbelanja langsung kebutuhan sandang ke Pasar Tanah Abang. Menurutnya, ada kenikmatan tersendiri ketika belanja pakaian secara langsung ke toko.

“Saya bisa tahu kualitasnya, bisa pegang kainnya, bisa dicoba langsung. Yang paling enak bisa nawar ke penjual kalau kita beli eceran,” timpal Aini.

Aini menyebut belanja langsung ke Pasar Tanah Abang merupakan laku nostalgia sederhana. Menyusuri ruas-ruas jalanan di sekitar Pasar Tanah Abang, melihat deretan toko penjual, dan sesekali menepi di kedai jajanan, adalah obat bagi rindu di masa lalu.

Soal pasar murah yang disediakan oleh tempat belanja digital, Aini yakin, ada harga, tentu ada kualitas, merujuk pada kesangsiannya terhadap kualitas barang di TikTok Shop.

Pengunjung Pasar Tanah Abang lain, Yosi, 31 tahun, telah membuktikannya. Ia membandingkan kualitas barang di Tanah Abang dengan TikTok Shop. Sepotong celana ketat panjang (legging) seharga Rp15 ribu ia dapat setelah menunggu pengiriman selama beberapa hari.

“Tapi ya ketika datang, bahannya jelek banget,” lanjut Yosi.

Jika di Tanah Abang ada pembeli loyal seperti Aini dan Yosi, Pasar Cipulir punya Jannatun. Ibu rumah tangga kelahiran 1975 ini memilih merawat kenangan belanja di Pasar Cipulir lantaran jaraknya dekat dari rumahnya di Sudimara Selatan, Tangerang.

[Lampirkan visualisasi perbandingan harga barang di toko fisik dan market place]

“Karena langganan ke beberapa toko di sini, murah. Jadinya selalu bolak balik tiap sebulan dua kali,” kata Jannatun.

Rumah orang tua Jannatun berada persis di belakang Pasar Cipulir. Sejak tahun 1990-an, keluarga Jannatun langganan belanja pakaian di Pasar Cipulir. Jannatun sempat pindah tahun 2000-an awal ke Tangerang, lalu kembali lagi tinggal di Sudimara tahun 2006. Selama di Tangerang itu, Jannatun masih tetap belanja ke Pasar Cipulir.

Pasar Cipulir menopang kebutuhan sandang keluarga Janattun menjelang lebaran, atau persiapan acara pernikahan, syukuran, piknik keluarga, dan seremoni besar lainnya.

Ia mengaku tidak terlalu antusias untuk berbelanja pakaian lewat market place.

“Saya suka nyaranin anak-anak belanja pakaian di Pasar Cipulir. Emang bener loh, karena banyak pilihan dan murah-murah,” tambahnya.

Saat disinggung soal kenyamanan berbelanja online, Jannatun tak mau kalah. Ia punya tip sendiri agar bisa berbelanja nyaman, terhindar dari kepadatan dan panas ketika berburu baju di Cipulir.

“Pergi saat pagi sehabis waktu buka, atau sekalian malam menjelang tutup toko.”

Ketika TikTok dan platform belanja daring lain memikat pembeli yang ogah repot berpanas-panasan dan bayar parkir mahal. Tanah Abang, Cipulir, dan tempat belanja bersejarah lain punya Aini, Yosi, Jannatun, dan orang-orang seperti mereka yang masih bungah melihat deretan pakaian yang dipajang, dan mencium bau garmen saat memilih pakaian.

Mereka adalah harapan bagi pelaku usaha semacam Wahyu, Elly, dan Nurman.

Solusi Semu Penutupan TikTok Shop

Lantai I Blok A Pasar Tanah Abang seperti rubanah di film-film horor siang itu. Setiap ruangan begitu pengap. Manekin milik beberapa grosir pakaian, berdiri di depan toko yang tutup tanpa ada sepucuk pakaian berselimpang.

Di salah satu pojokan, suara dengkuran seorang penjual kain terdengar hingga ke ujung banjar.

Dari sebuah arsip jurnal bertajuk “Membangkiak Batang Trandam: Strategi Berdagang Etnis Minangkabau di Pasar Tanah Abang” yang ditulis Aditya Prapansyah (2021), pelataran parkir di depan pasar dahulunya adalah tempat parkir kuda-kuda penarik delman dan gerobak.

Siang itu, matahari seakan berjumlah selusin, hanya ada dua puluhan motor yang terparkir di sana. Dari tanah bekas parkir kuda-kuda penarik delman dan gerobak, nampak jelas wajah-wajah lesu penjual Pasar Tanah Abang.

“Tutup TikTok Shop!”

Sejak pertengahan September 2023, pedagang-pedagang Pasar Tanah Abang masif mengeluh soal TikTok Shop. Mereka menuntut penutupan pltform tersebut karena dianggap jadi biang kerok penurunan omzet.

Tuntutan itu lalu direspons Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) yang meminta seller dan affiliator menghentikan aktivitas penjualan di TikTok Shop.

Puncaknya, lewat siaran pers Kemenkop UKM yang terbit pada 4 Oktober 2023, TikTok Shop menutup bisnis dan layanannya di Indonesia. Penutupan TikTok Shop di Indonesia itu sejalan dengan Permendag No.31/2023 yang melarang praktik social-commerce.

“Larangan social-commerce seperti TikTok Shop dimaksudkan untuk melindungi UMKM seluruh Indonesia dari praktik predatory pricing,” kata Tubagus Fiki Chikara Satari selaku Staf Khusus Menkop UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif dalam siaran pers Kemenkop UKM.

Kontroveri TikTok Shop sudah mencuat pada sesi interupsi Rapat Paripurna DPR RI ke-30 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis, 13 Juli 2023.

Saat itu, Amin Ak selaku Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, menyampaikan bahwa TikTok Shop dapat merugikan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berkontribusi pada 60,3% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

“UMKM adalah tulang punggung perekonomian nasional. Mereka memerlukan pendampingan, penguatan, dan proteksi dari gempuran produk impor, khususnya dengan adanya ancaman dan tantangan baru mengenai Proyek S,” kata Amin Ak dalam cuplikan video Rapat Paripurna DPR RI ke-30.

Usulan Amin bisa jadi benar, butuh aturan jelas yang bisa mendukung UMKM berkembang. Tapi jelas bukan dengan menutup “media” yang menjadi perantara dan memudahkan transaksi antar penjual dan konsumen.

Karena toh, tak ada TikTok Shop pun masih ada Shopee, Tokopedia, dan platform-platform penjualan daring lainnya.

Sejatinya Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pernah menerima kunjungan Chief Executive Officer (CEO) TikTok Shou Zi Chew di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, pada Rabu, 14 Juni 2023.

Mereka membahas peranan TikTok terhadap ekosistem UMKM Indonesia, khususnya dalam mempercepat proses digitalisasi. Tapi, bukannya membuka mata, Zulkifli Hasan justru menyebut keberadaan TikTok memotong peran rantai distribusi karena membuat produsen dan pembeli terhubung secara langsung.

Bukan Indonesia namanya jika pemerintahnya tak bermain dagelan. Ketika Kemendag dan Kemenkop UKM melarang TikTok Shop, Budi Arie Setiadi selaku Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), malah memanggil pihak TikTok untuk melatih pedagang di Pasar Tanah Abang berjualan lewat platform TikTok Shop.

“Kalau pedagang Tanah Abang mengeluh, nanti kita latih bisa berjualan dua metode offline dan online, gitu loh, nggak bisa teknologi kita hadang,” imbuhnya dalam keterangan pada CNBC Indonesia, Kamis, (21/9/2023).

Dualisme aturan maupun himbauan itu tentu membuat pedagang-pedagang di Pasar Tanah Abang kebingungan. Meskipun akhirnya layanan TikTok Shop ditutup, respons itu tak menjawab permasalahan sebenarnya yang tengah dihadapi oleh pedagang Pasar Tanah Abang dan Pasar Cipulir.

“Pelarangan social-commerce untuk menjadi tempat transaksi jual-beli barang tidak mengedepankan azas bebas berinteraksi dengan orang lain. Tidak ada jaminan transaksi di media sosial bukan transaksi jual-beli,” kata Nailul Huda, peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), mengomentari persoalan ini.

Kepada Deduktif, Nailul membeberkan celah dalam Permendag 31/2023, termasuk soal irisan aktivitas dalam bersedia sosial. Menurut Nailul, ada masanya suatu aplikasi berada di daerah singgungan antara LokaPasar, Iklan Baris Online, dan Media Sosial.

“Misal, Facebook sebagai media sosial dan sebagai Iklan Baris Online di Forum Jual Beli Facebook. Daerah singgungan ini berpotensi menjadi sumber masalah baru. Begitu juga dengan model bisnis WhatsApp Business,” kata Nailul, Selasa (3/10/2023).

Dalam poin pemerintah sebagai agen yang menyediakan daftar barang luar negeri yang boleh dijual langsung (positif list), Nailul kembali skeptis. Ia memprediksi adanya potensi penyalahgunaan jabatan dalam menentukan positive list.

Cross border commerce masih berada dalam teritori abu-abu karena ada aturan positive list.”

Poin selanjutnya, dalam aktivitas impor, Permendag 31/2023 belum mewajibkan pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) untuk melakukan tag-ing produk impor di setiap PMSE.

Padahal menurut Nailul, tag-ing ini sangat penting untuk membuat kebijakan mengenai barang impor di PMSE. Dengan adanya tag-ing, pemerintah bisa mendapatkan gambaran riil banjirnya produk impor.

“Butuh dari sekadar Permendag untuk bisa mengatur hal ini.”

Jika celah itu tak ditutup, kita tinggal menunggu saja, hari ketika pedagang-pedagang lain melakukan protes lebih masif karena merasa terdiskriminasi oleh persaingan di pasar media sosial lain.

 

Reporter: Fajar Nugraha

Penulis: Fajar Nugraha

Editor: Aditya Widya Putri