“Waifuna”, Mantra Perempuan Adat Papua Menjaga Tradisi Sasi
TL;DR
-Waifuna, menjadi kelompok perempuan pertama di Papua yang memiliki wilayah pengelolaan sasi, hingga mencapai 213 hektare.
-Sasi mengatur pengelolaan sumber daya alam dalam jangka waktu tertentu. Selama sasi berlaku, masyarakat tidak boleh mengambil sumber daya di wilayah sasi hingga tiba waktu panen (sasi dibuka).
-Laba penjualan sasi Waifuna bisa membiayai kegiatan keagamaan gereja, kebutuhan sosial kemasyarakatan, pemeliharaan kesehatan warga, hingga tabungan pendidikan—semacam beasiswa bagi anak kampung yang berprestasi.
-Semenjak perempuan jadi ujung tombak tradisi sasi di Kapatcol, hasil patroli sasi mengungkapkan nol kasus pemboman ikan.
Perempuan adat Kampung Kapatcol, Papua Barat punya cara unik untuk berterima kasih kepada semesta yang berbaik hati memberi penghidupan. Kisah mereka menjaga alam tetap lestari diabadikan dalam tradisi luhur sasi.
Senyuman Mama Almina bisa mencapai satu jengkal telunjuk tatkala memamerkan tangkapan lola dan teripang sebesar dua lengan yang dirapatkan. Almina adalah salah satu perempuan Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat yang melakukan ritual sasi pada 25-28 Maret 2024 kemarin.
“Kami sadar bahwa alam ini adalah milik generasi mendatang, sehingga diperlukan peran bersama untuk menjaganya,” Almina Kacili, Ketua Kelompok Waifuna, membuka prolog dalam rentetan ceritanya memperjuangkan hak-hak perempuan mengelola sumber daya alam di Kapatcol.
Sasi merupakan mekanisme adat untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam—baik di darat maupun di laut—dalam jangka waktu tertentu. Selama sasi berlaku, masyarakat tidak boleh mengambil sumber daya di wilayah sasi hingga tiba waktu panen (sasi dibuka).
Tradisi ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia bagian timur. Di Kapatcol, masyarakatnya telah lama menerapkan sasi laut, yakni menerapkan aturan tidak tertulis untuk mengatur akses terhadap wilayah penangkapan sumber daya laut, alat penangkapan, spesies target, waktu, dan lokasi penangkapan.
Berkat sasi, sumber daya alam akan beregenerasi dan tetap mampu menunjang kebutuhan masyarakat. Dalam tradisi umum sasi, kelompok laki-laki di kampung setempat memegang hak pengelolaan penuh, mulai dari panen hingga penyaluran hasil sasi.
Tapi, Kampung Kapatcol lain. Sejak satu setengah windu yang lalu, tepatnya sejak 2010, perempuan Kapatcol mendobrak tradisi sasi laki-laki.
Betsina Hay, istri kepala Kampung Kapatcol saat itu, bersama dengan saudaranya Almina Kacili mempertanyakan hak mereka—para perempuan—dalam mengelola wilayah perairan.
“Perempuan juga harus berada di garis depan dalam menjaga kelestarian alam,” kata Almina. Tak ada keraguan yang menguar dari suaranya, Almina yakin, perempuan bisa duduk sejajar dengan laki-laki dalam mengelola persoalan pangan dan keberlanjutan alam.
Transisi pengelolaan sasi dari kelompok laki-laki ke kelompok perempuan atau kepada para mama di Kampung Kapatcol tergolong mulus karena campur tangan Mama Betsina. Status sosialnya sebagai istri kepala kampung yang cukup terpandang, membuat kelompok laki-laki ikut mendukung transisi sasi sejak awal.
“Melalui sasi, kami memiliki kesempatan untuk turut berkontribusi dalam pelestarian alam di Kapatcol,” lanjut Almina.
Mama Betsina dan Mama Almina kemudian menginisiasi kelompok sasi perempuan Waifuna yang dalam bahasa setempat berarti “Berkah dari Tuhan yang Mahakuasa”.
“Bisa jadi Waifuna adalah kelompok perempuan pertama di Papua yang memiliki wilayah pengelolaan sasi,” terang Mama Almina.
Hak perempuan mengelola sasi di sana pun diakui penuh oleh pemerintah kampung, gereja, dan pemegang adat. Di awal eksistensinya, Waifuna mengelola wilayah sasi seluas 32 hektare untuk teripang dan lobster. Kemudian sejak 2019, pemerintah kampung setempat memberikan perluasan area sasi menjadi 213 hektare hingga saat ini.
Saat ini, kelompok laki-laki di Kampung Kapatcol ikut mendukung dan membantu mengambil biota yang telah siap saat panen dan pemantauan. Namun, proses pengelolaan secara menyeluruh serta pencatatan hasil sudah diserahkan kepada para mama.
Para Mama Pendobrak Perubahan
Lima tahun pascainisiasi pemindahan hak pengelolaan sasi kepada kelompok perempuan, Mama Betsina meninggal dunia. Namun, warisan perjuangan Mama Betsina tetap berdampak dan bisa dinikmati masyarakat Kampung Kapatcol hingga sekarang.
Kelompok Waifuna mampu membiayai kegiatan keagamaan di gereja, kebutuhan sosial kemasyarakatan, pemeliharaan kesehatan warga, hingga tabungan pendidikan—semacam beasiswa bagi anak kampung yang berprestasi—dari keuntungan penjualan hasil panen buka sasi.
Kiprah kelompok Waifuna dalam tradisi luhur sasi pada akhirnya mampu menginspirasi perempuan di kampung lain. Kini sudah ada kelompok Joom Jak Sasi dari Kampung Aduwei dan kelompok Zakan Day dari Kampung Salafen di Misool Utara yang menerapkan teknik sasi serupa Waifuna di wilayah mereka.
Dalam perjalanannya, Waifuna dan kelompok perempuan sasi lain mendapat pendampingan pengelolaan sasi berkelanjutan dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), organisasi nirlaba berbasis ilmiah dengan misi melindungi wilayah daratan dan perairan sebagai sistem penyangga kehidupan.
Mereka kemudian mengembangkan kesepakatan sasi berdasarkan hasil pemantauan populasi teripang dan lobster. Para anggota kelompok harus menyepakati aturan yang dibuat dari hasil pemantauan, misalnya hanya boleh mengambil biota dewasa dengan memakai alat tangkap ramah lingkungan.
“Mereka hanya boleh memanen jenis dan ukuran biota laut yang telah disepakati, misalnya teripang yang boleh dipanen minimal 15 sentimeter panjangnya,” jelas Manager Senior Bentang Laut Kepala Burung Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Lukas Rumetna.
Sementara untuk pemanenan, kelompok perempuan sasi hanya mengambil biota laut dengan cara “Molo” yakni menyelam dan mengambil menggunakan tangan kosong, atau dengan tradisi “Balobe”, alias menggunakan tombak kayu di perairan dangkal.
Kelestarian tradisi sasi yang dipelihara para mama Kapatcol kemudian disempurnakan dengan ilmu baru tentang manajemen organisasi. Supaya efektif dan efisien, kelompok Waifuna dibagi dalam grup-grup kecil untuk menyelam, memanen, mencatat hasil panen, serta mengelola keuangan hasil penjualan panen.
Semenjak perempuan Waifuna memegang tradisi sasi, hasil patroli sasi juga mengungkapkan nol kasus pemboman ikan. Dampaknya, ekosistem laut di sana terus terjaga dan pada akhirnya menjadi upaya mitigasi perubahan iklim karena ekosistem laut mampu menyerap 25 persen emisi karbon.
Waifuna tak menemui kesulitan berarti ketika menjalankan peran sebagai ujung tombak tradisi sasi di wilayah Kapatcol. Sebab, laut dan perempuan di sana adalah kesatuan. Perkara menyelam bebas tanpa alat pun sudah jadi denyut kehidupan mereka.
Tantangan yang saat ini mereka hadapi berkaitan dengan perubahan iklim—problem yang dihadapi oleh 8,1 miliar manusia di bumi dan paling berdampak bagi kelompok marginal dan miskin.
“Beberapa tahun terakhir ombak besar, angin kencang, dan hujan harus kami hadapi saat berpatroli di wilayah sasi,” kata Almina.
Patroli itu bertujuan untuk menjaga wilayah sasi agar aman dari para pembajak yang berniat mengambil biota sebelum waktu panen. Para pembajak itu biasanya melakukan pemboman atau menggunakan cara-cara penangkapan destruktif lainnya.
Ya, perompak laut bagi para mama adalah mereka yang tidak tumbuh di tanah Papua Barat. Karena masyarakat adat mencukupkan tangkapan hanya untuk keperluan makan, bukan memuaskan keserakahan.
caption foto:
1.Mama panen teripang:
Ketua Kelompok Sasi Perempuan Waifuna, Almina Kacili (Mama Almina), memperlihatkan hasil buka sasi berupa teripang dan lola. Senin, (25/03/2024) (Foto: Adia Puja Pradana_YKAN).
2.Kelompok Waifuna:
Kelompok Sasi Perempuan Waifuna dari Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, sedang menunjukkan hasil panen dari buka sasi. Hasil panen terdiri dari teripang, lobster, dan lola. Senin, (25/03/2024). (Foto: Adia Puja Pradana_YKAN).
3.Kelompok muda sasi:
Generasi muda Kelompok Sasi Perempuan Waifuna, Yolanda Kacili (kiri) dan Yonance Hay (kanan), bersama hasil tangkapan mereka pada buka sasi di Kampung Kapatcol, Distrik Missol Barat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, Senin, (25/03/2024). (Foto: Adia Puja Pradana_YKAN)