Yang Tersisa dari Pesta Demokrasi: Kematian Petugas Pemilu yang Terus Berulang

Yang Tersisa dari Pesta Demokrasi: Kematian Petugas Pemilu yang Terus Berulang

TL;DR
-Tragedi kematian para anggota KPPS selalu terulang setiap Pemilu.
-Pada Pemilu 2024 KPU mengumumkan lebih dari 100 petugas Pemilu meninggal dunia.
-Upah kerja yang diterima para petugas Pemilu banyak dikebiri.
-Beban kerja dan risiko yang diterima para petugas Pemilu tak sebanding dengan upah yang mereka terima.


Belum lekang dari ingatan, kisah tragis dalam riuhnya pesta politik pada tahun 2019. Ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) merenggang nyawa demi mengawal proses demokrasi Indonesia.

Rasa-rasanya upah sebesar Rp500 ribu kala itu sangat tak layak jadi barter potongan umur hidup. Komisi Pemilihan Umum (KPU) lalu berbenah, ada batasan umur dan upah layak yang diberikan.

Namun, tragedi serupa tetap tak terelakkan, bahkan upah yang dijanjikan, disunat berkali lipat. 

Kasus pemotongan upah petugas Pemilu ini ramai dilaporkan di ragam media sosial seperti TikTok dan X. Cuplikan video TikTok @elhasyaaa contohnya, pada Minggu, (28/1/2024) lalu, pemilik akun ini mengaku hanya dapat Rp25 ribu untuk ongkos transportasi setelah pelantikan anggota KPPS.

https://www.antaranews.com/berita/3945531/kpu-dki-pastikan-penuhi-hak-pencairan-uang-transportasi-anggota-kpps
Uang itu ia terima dalam bentuk pecahan Rp5.000. Besaran dana transportasi tiap daerah memang berbeda, namun KPU DKI Jakarta sempat menyatakan anggota KPPS berhak menerima Rp50 ribu dana transportasi saat pelantikan, dan dana transportasi Rp100 ribu saat bimbingan teknis (Bimtek).

Firman Faturahman, salah satu petugas Pemilu yang ikut kena sunat honor transportasinya. Petugas KPPS asal Kabupaten Bogor ini mengaku hanya diberi camilan serta uang transport masing-masing Rp25 ribu. Total ia hanya menerima sebesar Rp50 ribu.

“Katanya tiap daerah itu beda. Dan mandat dari bupati untuk wilayah Kabupaten Bogor sekian (Rp50 ribu) dapatnya,” kata Firman kepada Deduktif, Senin, (5/2/2024).

Pengalaman petugas KPPS lain, Jayanti Mandasari menggambarkan betapa berat tugas penyelenggara Pemilu. Mereka harus siap fisik agar tak tumbang dalam tugas mengamankan suara rakyat.

Pada 25 Januari 2024 lalu, Yanti dilantik sebagai anggota KPPS, menjadi sang “Abdi Negara”. 

Ia dilantik di Gelanggang Olahraga (GOR) Sunter, Jakarta Utara bersama 800-an anggota lain untuk Kecamatan Kelapa Gading. 

“Alasan jadi anggota KPPS karena mau ikut berkontribusi dalam kegiatan Pemilu 2024 sebagai generasi muda,” kata Yanti kepada Deduktif, Minggu, (4/2/2023).

Setelah mengikuti pelantikan, ia menjalani Bimtek di Hotel kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sedikit lebih mujur dari Firman, Yanti diberi uang transport sebesar Rp150 ribu selama dua hari mengikuti acara.

Pada Februari 2023 Yanti sudah terlibat menjadi Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Pengalaman itu jadi bekal dirinya mendaftar jadi petugas KPPS. Setelah melalui seleksi administratif dan medical check up (MCU), pada Desember 2023 lalu ia dinyatakan lolos sebagai anggota KPPS.

Yanti mendapat tugas merekap suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 115, Rawa Sengon, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Maksimal terdapat 200 daftar pemilih tetap (DPT). Terdapat enam anggota KPPS yang bertugas di TPS tersebut.

Selama bertugas, mereka akan diberikan konsumsi seperti nasi kotak, minum, dan camilan. 

“Kalau seragam, yang samaan beli pakai uang sendiri,” ujarnya.

Perjuangan Selama 24 Jam

Tiba saat hari pencoblosan, Rabu 14 Februari 2024. 

Meski waktu pencoblosan baru dimulai pukul 09.40, Yanti beserta anggota KPPS lain sudah tiba sejak pukul 6 pagi mengenakan seragam biru navy. 

Mereka mulai melakukan pemungutan suara pada pukul 09.40-14.00 WIB. Dilanjutkan perhitungan suara hingga pukul 21.00 WIB. Seluruh pekerjaan para petugas Pemilu di TPS Yanti baru berakhir pukul 01.30 WIB keesokan harinya.

“Agak ribet karena gue sebagai yang ngerekap data manual dan online di SiRekap . Banyak kendala di online, entah jaringan atau apa,” tuturnya. Aplikasi SiRekap adalah sistem perhitungan baru yang digunakan KPU. Sistem ini menggantikan Sistem informasi penghitungan suara (Situng).

Buat Yanti, upah di hari pemilihan sebesar Rp1,1 juta sudah cukup untuk membayar beban lelahnya di hari itu.

Sementara Firman tim KPPS di Bojongbaru, Kabupaten Bogor merampungkan pekerjaan mereka lebih lama, hingga pukul 7 pagi keesokan harinya.

“Cape ya pasti, karena kerja. Tapi kan ada uangnya juga, jadi kebayar,” tutur Firman.

Dalam menjalankan tugas, para petugas Pemilu ini mendapat asuransi kecelakaan hingga kematian. Meski sebelumnya Komisioner KPU, Idham Kholik memastikan pemungutan suara bakal berjalan lancar dan tidak lagi ada korban kecelakaan kerja bahkan meninggal dunia.

KPU telah berusaha menyeleksi ketat anggota KPPS. Para petugas KPPS harus melampirkan dokumen keterangan kesehatan. Mereka juga memprioritaskan calon KPPS berusia muda.

“Informasi dari KPU/KIP kabupaten/kota, sudah ada beberapa pemerintah daerah yang memberikan suplemen ketahanan fisik buat KPPS,” kata Idham kepada Deduktif, Senin, (5/2/2024).

Padahal kita semua tahu, surat keterangan kesehatan bisa didapat dengan mudah di klinik, bahkan diperjualbelikan bebas di lokapasar. 

Hingga Kamis, (22/2/2024) sudah sebanyak 108 petugas Pemilu 2024 meninggal dunia. Jumlah terbesar berasal dari KPPS sebanyak 58 orang, kemudian menyusul Perlindungan Masyarakat (Linmas) sebanyak 20 orang, 12 petugas, 9 saksi, 6 anggota Badan Pengawas Pemilu, serta 3 anggota Panitia Pemungutan Suara.

Faktor kematian paling tinggi berkaitan dengan penyakit jantung sebanyak 30 kasus, disusul dengan kecelakaan 9 kasus, hipertensi 9 kasus, dan syok septik 8 kasus. Ada juga gangguan pernapasan akut 6 kasus, penyakit serebrovaskular 6 kasus, diabetes melitus 4 kasus, kematian jantung mendadak 2 kasus, kegagalan multiorgan 2 kasus. 

Yang lainnya yaitu asma, sesak nafas, dehidrasi, TB paru, penyakit ginjal kronis, masing-masing sebanyak satu kejadian. Sementara penyebab kematian 27 orang lainnya masih dikonfirmasi.

Daerah dengan sebaran kematian tertinggi adalah Jawa Barat (27), menyusul Jawa Timur (24), dan Jawa Tengah (16), serta DKI Jakarta (9). Menurut rentang usia, mayoritas korban berumur 51 tahun hingga lebih dari 60 tahun. 

Jumlah korban jiwa dari petugas Pemilu kali ini memang lebih rendah jika dibandingkan Pemilu sebelumnya. KPU melaporkan ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. 

Tomy Heru Siswantoro adalah salah satu petugas yang gugur di Pemilu 2019 lalu. Sang anak, Duta Pratama bercerita soal kronologi ayahnya meninggal setelah bertugas sebagai anggota KPPS.

Tomy kala itu mulai bertugas pukul 6 pagi, 17 April 2019 di TPS 19, Kelurahan Pacarkeling, Tambaksari, Surabaya. Selama bertugas,ia hanya mengkonsumsi air es, kopi, dan rokok saja. Tidak makan sama sekali. 
Tomy baru menyelesaikan tugasnya pada pukul 4 pagi keesokan hari. Kerja keras Tomy kala itu cuma dihargai upah Rp500 ribu saja.

Dua hari kemudian, Tomy jatuh sakit dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit St. Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya, Jawa Timur. Tomy mengalami pembengkakan jantung.

“Perasaan saya sedih, nangis kehilangan sosok ayah. Semua keluarga juga sangat terpukul,” kata Duta, suaranya terisak di seberang telepon, Senin (5/2/2024).

Tomy menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 21 April pukul 05.40 WIB, pada usia 47 tahun, setelah beberapa hari mendapat perawatan. 

Sebelumnya, menurut Duta, Tomy tak pernah memiliki penyakit keras. Selang beberapa waktu, sang ibu menyusul, meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal sepeda motor.

Duta saat ini hidup sebatang kara, putus kuliah, dan tengah berusaha keras untuk mencari pekerjaan. 

Ya, Pemilu memang ajang pesta bagi para politisi untuk berebut kursi. Rakyat kecil yang katanya jadi tonggak demokrasi, cuma pelengkap administrasi. Pada akhirnya, mereka, para petugas yang gugur dalam pemilu dihitung hanya sebagai statistik belaka. 

Pada akhirnya siapapun presiden yang menang, hidup rakyat kecil terus berjalan, keluarga yang ditinggalkan tetap berjuang sendirian, menanggung inflasi dan kenaikan bahan pokok yang gila-gilaan. 

Reporter dan Penulis: Riyan Setiyawan
Editor: Aditya Widya Putri

Panduan Republikasi:
Deduktif.id mempersilahkan siapapun merepublikasi artikel secara gratis dengan panduan sebagai berikut:   
1. Dilarang mengedit artikel. Segala bentuk penyesuaian harus mendapat persetujuan penulis sebelum diterbitkan ulang. 
2. Mencantumkan nama penulis, sumber artikel yang berasal dari deduktif.id, dan tautan URL artikel asli di bagian atas artikel republikasi.
3. Dilarang menjual artikel secara terpisah atau menyebarluaskan demi keuntungan material.
4. Pastikan lisensi foto maupun grafis berasal dari deduktif.id.