Aset Bisa Dirampas, Tetapi Memori Tinggal

Amarzan kabur dari kantor sekretariat LEKRA lewat lubang parit. Ia kabur dari sekretariat yang beralamat di Jalan Cidurian No. 19, Cikini, Jakarta Pusat, bersama seorang penyair bernama Daniel Chong. Keduanya sudah mengetahui kalau ada massa yang akan mengepung sekretariat.

 

“Setelah kami lolos, kami kagum. Lubang itu kecil tapi kami bisa lolos. Dan tidak ada tuh bekas-bekas kawat, bekas-bekas apa [luka],” kenang mendiang Amarzan Ismail Hamid atau yang kemudian dikenal dengan nama Amarzan Loebis, dalam dokumenter Tjidurian 19: Rumah Budaya yang Dirampas.

 

Sebelum pengepungan terjadi, mendiang Amarzan telah mendapat sinyal petaka. Lewat sebuah siaran radio pada 2 Oktober 1965, dia mendengar bahwa pidato Soeharto sudah mengarah pada pemberangusan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Pemuda Rakyat. Karena itulah dia memutuskan untuk meninggalkan sekretariat LEKRA.

 

Mendiang Amarzan merupakan jurnalis dan sempat jadi redaktur Harian Rakjat. Selain itu, ia juga dikenal sebagai salah satu penyair yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Karena keterlibatannya dengan Harian Rakjat yang merupakan media partai, ia dibuang ke Pulau Buru. Ia kemudian menjadi jurnalis Tempo pasca kembali dari pembuangan.

 

Dalam dokumenter Tjidurian 19, mendiang Amarzan mengenang momen ketika berada di sekretariat LEKRA. Ketika pertama kali datang ke Cidurian 19, para tukang baru saja menyelesaikan pembangunan. Seisi bangunan masih bau semen dan cat. Meski belum ada dipan, mendiang Amarzan membawa kasur dari kampung halaman.

 

Saya bawa kasur dari Medan, tapi kemudian dijual ke pasar loak untuk makan. Banyak orang lapar yang harus ditolong [di sekretariat LEKRA], yakni Iskandar [T. Iskandar AS] dan Martin,kata mendiang Amarzan.

 

Mendiang Amarzan masih ingat bahwa di sekretariat LEKRA, orang-orangnya tidak melulu santai. Misal, ketika sekretariat kedatangan seorang Willi Bredel, penulis asal Jerman Timur yang mempelopori literatur sosialis realis. Menurut Amarzan, Bredel dianggap sebagai Hemingway-nya Jerman Timur. 

 

“Dia diskusi dengan kita dipandu oleh Pram. Dan ketika diskusi itu, tidak juga dia bilang menulis secara marxist. Dia bilang, ‘Anda belum bisa menyebut diri pujangga kalau belum menulis buku tentang anak-anak’,” imbuh mendiang Amarzan.

 

Banyak tokoh-tokoh penting yang Amarzan muda temui selama di Cidurian 19. Beberapa di antaranya yang ia sebut adalah Utuy Tatang Sontani, Basuki Resobow—yang kepadanya Chairil menulis puisi—serta sosok penting lainnya yakni Njoto.

 

Ada bagian-bagian yang menentukan dalam hidup Amarzan, yang dipengaruhi oleh Cidurian 19. Hal itu bukan hanya tentang ingatan spasial, kenangan bersama orang-orang yang menjalani keseharian di sana, dan solidaritas kawanan sesama seniman saja. Mimpi-mimpi masa muda saya, sebagian besar menjadi kenyataan di sana,tutup Amarzan.

 

Berbeda dengan mendiang Amarzan, Martin Aleida yang juga merupakan sahabatnya, menganggap bahwa sesampainya ia di Cidurian 19 merupakan bentuk pelarian. Saya meninggalkan orang tua, dan masuk ke pangkuan orang tua lain yang namanya LEKRA,lirih Martin dalam dokumenter Tjidurian 19.

 

Martin mengaku betul-betul melarikan diri dari keluarganya di Tanjung Balai, Sumatera Utara dan menyabung nasib dengan kemampuan menulisnya. Kemampuan itu kemudian membawanya ke LEKRA, hingga akhirnya Martin menganggap bahwa LEKRA telah berjasa menampung dirinya dan memberikan inspirasi yang luar biasa kepada banyak seniman.

 

Jika mendiang Amarzan ditempatkan di sebuah ruangan yang belum ada dipan, lain halnya dengan Martin. Martin ditempatkan di sebuah ruangan yang dipenuhi kliping koran dan buku-buku. Sebulan tinggal di sekretariat, Martin dipertemukan dengan S. Anantaguna, yang menurutnya memiliki hubungan cukup unik dengannya.

 

Berbulan-bulan saya sekamar dengan penyair ini. Dia mirip seonggok patung batu yang sedang bertapa membaca. Kendati sekamar, boleh dikatakan kami tidak pernah berbicara,tulis Martin dalam memoar Romantisme Tahun Kekerasan.

 

Banyak momen yang dilewati Martin bersama anggota pimpinan pusat LEKRA itu. Saban hari beradu tahan membaca. Di kesempatan lain, bertukar lauk pauk saat makan. Mereka berdua punya kenangan yang masih melekat di ingatan masing-masing tentang semua hal di Cidurian 19.

 

Riwayat Cidurian 19

Berbicara tentang awal mula gedung sekretariat LEKRA, Jane Luyke yang merupakan istri dari penerjemah Oey Hay Djoen, juga memberi kesaksian tentang Cidurian 19. Pada tahun 1958, Jane dan Oey baru saja pindah ke Jakarta. Mereka cukup selektif mencari rumah dan enggan apabila lokasinya berada di dalam gang.

 

Dan akhirnya dapat rumah yang di Cidurian. Rumah yang di Semarang itu rumah pribadi. Warisan dari nenek tante (Jane) dan kemudian Oey serahkan kepada partai,kisah Jane dalam dokumenter Tjidurian 19.

 

Sebelum mengubah rumahnya menjadi sekretariat LEKRA, Oey terlebih dahulu meminta izin pada Jane. Tanpa banyak pertimbangan, Jane memperbolehkan. Keduanya pun menjadi tuan rumah di sekretariat.

 

“Tadinya [ngumpul] di dalam rumah, sebelum ada sanggar. Selalu di dalam rumah. Jadi repot juga ngurusin minum, makanan kecil, tapi itu kita bertahan sampai beberapa tahun,” kenang Jane.

 

Jane masih ingat denah rumah sekaligus sekretariat Lekra di Cidurian 19. Di bagian belakang, ada satu sanggar yang dibangun untuk tempat latihan musik, sekolah akting, baca-baca, dan aktivitas serbaguna. Di paviliun lain, ada taman kanak-kanak Melati di mana Jane juga seringkali ikut mengajar. Selain itu, ada juga perpustakaan serta ruangan yang terdapat piano, yang sering dimainkan para pengunjung sekretariat.

 

Pada 1966, Kodam Jaya mengambil alih sekretariat LEKRA di Cidurian 19. Mereka menyulap seisi gedung menjadi mes Angkatan Darat. Selain itu, terdapat sembilan keluarga yang menempati mes itu.

 

Baru pada tahun 1989/1990—dikutip dari epilog dokumenter Tjidurian 19—pihak Kodam Jaya menjual bekas sekretariat LEKRA itu tanpa dilengkapi surat-surat. Mayjen Soerjadi Soedirja yang ketika itu menjabat sebagai Pangdam Jaya, menjual bangunan pada seorang pengusaha bernama Iwan senilai Rp200 juta.

 

Kepemilikan bangunan kemudian berpindah lagi pada pengusaha lain bernama Andi yang membelinya seharga Rp9 miliar pada pertengahan 1990. Setelah berpindah tangan untuk ketiga kalinya, bangunan rumah yang menempati Cidurian 19 pun diruntuhkan. Sang pemilik baru, Andi, kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Widya di petak itu.

 

Sebenarnya, pasca ‘65, tentara tak hanya merampas sekretariat LEKRA atau aset-aset terkait PKI saja, melain juga gedung-gedung sekolah Tionghoa, perkumpulan marga, hingga tempat ibadah. Berdasarkan dokumen Petunjuk Penanganan Masalah Organisasi Eksklusif Rasial-Rasial (PPMOERR) yang dihimpun oleh Tim Interdep Penyelesaian Masalah Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa (ABMA/T) pada 1997, di Jakarta sendiri terdapat 183 aset-aset milik asing dan Tionghoa yang dirampas, termasuk Vihara Dharma Jaya alias Toa Se Bio yang terletak di kawasan Petak Sembilan.

 

Dengan dirampasnya aset-aset itu, ruang hidup dan ruang sosial masyarakat Tionghoa menyempit, bahkan hilang sama sekali. Orang-orang tak lagi menjalankan ibadah secara kolektif dan perkumpulan marga yang umumnya menjadi bala bantuan kala susah tak lagi ada. Cap komunis pun membayangi kehidupan mereka sehari-hari.

 

Dirampas Dahulu, Diperjualbelikan Kemudian

Berdasarkan penelusuran Deduktif, setidaknya terdapat 14 aset berbentuk bangunan milik Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi terkait di Jakarta yang dirampas oleh Angkatan Darat pasca peristiwa G30S. Selain Jakarta, perampasan aset juga terjadi di kota-kota lain, seperti Semarang dan Sumedang.

 

[insert peta persebaran aset Jakarta]

 

Perampasan aset-aset itu umumnya terjadi melalui dua metode. Metode pertama ialah penyitaan langsung oleh militer, seperti yang terjadi pada kantor Harian Rakjat. Martin Aleida, mantan jurnalis Harian Rakjat menuturkan bahwa pasca 2 Oktober 1965, kantor Harian Rakjat yang saat itu berlokasi di Jalan Pintu Air III, Pasar Baru, Jakarta Pusat, diduduki oleh satuan militer Jayakarta. Setelah itu, ia tidak mengetahui kepada siapa kepemilikan bangunan itu beralih.

 

“Kantor ini [kantor Harian Rakjat di Jalan Pintu Air III] lebih gila perampasannya: tak ada bekas kecuali bangunan bertingkat belasan yang ada di situ kini,” kata Martin kepada Deduktif pada 27 September 2022.

 

Sebelum pindah ke Pintu Air III, Harian Rakjat lebih dulu berkantor di area Glodok, tepatnya di Jalan Pintu Besar Selatan No. 93. Berdasarkan hasil penelusuran Deduktif, bangunan itu kini dipakai sebagai kantor PT Biru International, sebuah perusahaan konstruksi pembuatan bahan bangunan siap pasang.

 

Selain kantor Harian Rakjat, kediaman ketua PKI DN Aidit yang berada di Jalan Pegangsaan Barat No. 4, Menteng, Jakarta Pusat juga dirampas dengan cara yang sama. Dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto (2015) yang ditulis oleh Salim Haji Said, diketahui bahwa rumah itu “diambil alih tentara dan dihibahkan ke Golkar”.

 

Kini, di lahan bekas rumah Aidit, berdiri bangunan tiga lantai berwarna putih dengan halaman yang luas dan tanaman rambat yang bergelantung di fasadnya. Di depannya, terpasang tiang bendera dan signage bertuliskan “DPD Golkar DKI Jakarta”.

 

Metode kedua yang kerap digunakan dalam perampasan aset-aset pasca-‘65 adalah penggeledahan dan okupasi oleh massa. Dalam metode ini, sebuah bangunan akan di-screening atau dirusak terlebih dulu oleh massa yang umumnya berasal dari organisasi sipil sayap kanan, seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Pelajar Indonesia (KAPI), dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Setelah dirusak, massa akan menduduki bangunan itu sampai akhirnya disita oleh aparat.

 

Metode inilah yang digunakan untuk merampas kantor Dewan Nasional Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) di Jl. Kramat V, Senen, Jakarta Pusat. Oleh tentara, kantor yang terdiri atas tiga bangunan itu–rumah nomor 14, 16, dan 17—kemudian disulap menjadi markas unit Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Laksus Kopkamtib).

 

Seperti namanya, lembaga bentukan Soeharto itu awalnya bertugas untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pasca G30S. Namun, setelah keadaan membaik, tugas Kopkamtib pun berubah: mengamankan kewenangan pemerintah Orde Baru beserta organ-organnya guna “menjamin kelestarian Pancasila dan UUD 1945”. Mereka berwenang untuk melarang unjuk rasa, dan diskusi publik terkait topik sensitif, melakukan penangkapan terhadap figur-figur politik yang dianggap bermasalah, serta menyensor media massa.

 

Di markas yang kerap dijuluki Kremlin inilah—diambil dari julukan pemerintah Uni Soviet sekaligus singkatan dari Kramat Lima–para aktivis serta orang-orang yang dianggap terasosiasi dengan PKI dan G30S disiksa. Setruman listrik, sundutan rokok, dan gebukan turut menyertai pertanyaan yang dilontarkan militer kepada mereka selama interogasi, seperti tertulis dalam Neraka Rezim Suharto: Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru (2008) karya Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto.

 

Selain kantor SOBSI, kebanyakan aset-aset lain pun dirampas dengan metode ini. Dalam radiogram yang dikirim Kolonel Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo kepada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Soeharto pada 20 Oktober 1965 sore, tertulis bahwa, massa di Semarang sudah mulai merusak dan membakar bangunan-bangunan setempat yang dianggap terkait PKI sejak pukul 06.00 pagi itu. Aset-aset yang dirusak adalah gedung Gerwani, Baperki, Universitas Res Publica, tiga sekolah Tionghoa, Pabrik Rokok Pak Tani dan Bengawan Solo, serta rumah-rumah tokoh golongan kiri.

 

Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang sekaligus peneliti ‘65 Grace Tjandra Leksana juga menambahkan bahwa metode okupasi ini kerap digunakan saat merampas sekolah-sekolah Tionghoa di Malang.

 

“Guru-gurunya dikumpulin, ditanyain, dan kadang dalam proses ini ada tentaranya, tapi memang yang berada di garda depan itu adalah organisasi-organisasi sipil ini.” tutur Grace saat berbincang dengan Deduktif pada  13 Oktober 2022 lalu.

 

Lalu, bagaimana caranya aset-aset ini bisa sampai di tangan pihak ketiga, seperti kantor Dewan Pusat Pimpinan Gerwani di Matraman yang kini menjelma restoran padang atau rumah Njoto di Jalan Malang yang kini menjadi pastoran?

 

“Jadi, [asetnya] dijual lagi sama militer. Kalaupun misalnya bangunan itu mereka tempati tanpa surat-surat, surat-suratnya bisa dibikin, gitu, kan? Jadi, seolah-olah mereka punya surat itu. Itu yang diperjualbelikan,” ujar Grace.

 

Ingatan dan Rekonsiliasi

Dalam tulisan “Tanah dan Kewarganegaraan: Diskriminasi Ruang Hidup dan Identitas Warga Tionghoa” yang ditulis dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Ahmad Nashih Luthfi di Jurnal Prisma Vol.38 No.3 2019, disebutkan bahwa perampasan aset atau properti adalah bagian dari kekerasan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

 

Sebab, menurut Luthfi, hilangnya tanah-bangunan sebagai ruang hidup, berimplikasi pada keluar dan berpindahnya orang yang mengakibatkan hilangnya status kewarganegaraan mereka. Tidak terkecuali pada upaya perampasan aset atau properti milik PKI oleh negara, lewat tangan militer.

 

Rumah atau properti milik organisasi yang menjadi bagian partai, tidak hanya menjadi lokus aktivitas orang-orang sebelumnya di masa lalu. Di sana, ada kenangan spasial yang akan selalu melekat di ingatan para penyintas. Sebagian dari mereka bahkan membawanya ke dalam kubur.

 

Senada dengan Luthfi, Grace juga menganggap bahwa perampasan ruang spasial, selain melanggar aturan legal-formal terkait properti, juga berimplikasi pada penghancuran kehidupan sosial budaya masyarakat yang menempati ruang itu.

 

Selama meneliti tentang memori ‘65 di Jawa Timur, Grace banyak berbincang dengan para penyintas ‘65 yang ruang hidupnya dirampas. Melalui percakapan-percakapan itu, ia melihat diskoneksi antara apa yang dilakukan pemerintah pusat dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat terdampak.

 

“Mereka [para penyintas] menyayangkan, ya. Kalau misalnya itu adalah urusan politik, kenapa harus ambil sekolah, gitu? Kenapa harus mematikan yang lain? Kalau itu hanya sekadar kudeta antar jenderal-jenderal, kenapa kami enggak bisa sekolah?” terang Grace.

 

Lantas, apakah dengan mengembalikan kepemilikan aset-aset itu bisa jadi sebuah langkah awal rekonsiliasi atau penebusan pelanggaran kemanusiaan di masa lalu?

 

“Dalam diskursus rekonsiliasi, kekerasan yang dilakukan oleh negara serta orang perorang dalam kapasitas sebagai pejabat negara yang mampu menggerakkan aktor-aktor non-negara, maka upaya pemulihannya harus diawali dengan pengungkapan kebenaran (inkuiri), pengembalian hak-hak korban (restitusi, rehabilitasi), kemudian berlanjut pada tahap rekonsiliasi,” tulis Luthfi.

 

Meski demikian, Grace menyebut bahwa yang dipahami penyintas tentang rekonsiliasi bisa sangat beragam. Ada penyintas yang memang mau dan bersedia menuntut sampai pengadilan, ada juga penyintas yang sudah pasrah dan lebih memilih untuk melupakan semua bentuk kekerasan di masa lalu oleh kekuasaan.


“Kalau menurut mereka [pengembalian aset] adalah bagian dari cara mereka untuk bisa pulih dan reconcile, ya, harus dijalani dengan segala kompleksitasnya karena ada yang berpindah tangan,” pungkas Grace.