Cum Laude Semakin Umum, Berapa Angka IPKnya?
TL;DR
1. Cum laude adalah gelar kehormatan dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) di atas 3,5 dan masa studi 4 tahun.
2. Perubahan kebijakan pendidikan tinggi, seperti otonomi PTN-BH dan gengsi akreditasi menyebabkan kampus mengatrol IPK mahasiswa.
3. Kini, banyak perusahaan yang menetapkan IPK di atas 3,5 sebagai persyaratan kerja.
Haya Nadhira (24) adalah satu dari lulusan dengan predikat cum laude di selebrasi wisuda Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ke-131 pada Februari 2024 lalu. Benar, satu karena ada hampir 750 mahasiswa yang dapat predikat cum laude dalam selebrasi itu. Cum laude yang merupakan gelar kehormatan karena lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) di atas 3,5 dan masa studi 4 tahun sekarang terasa seperti kacang goreng.
Disebut begitu karena setiap tahunnya jumlah lulusan cum laude terus naik. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi menunjukkan praktik katrol nilai itu nyata. Rata-rata IPK nasional tahun 2021 adalah 2,91, naik menjadi 3,33 di tahun 2022. Kampus sebesar Universitas Gadjah Mada (UGM) pun juga tidak bebas dari jeratan ini; rata-rata IPK lulusan sarjana di tahun 2023 adalah 3,57, naik naik 0,23 poin dari tahun 2021.
Fenomena ini tidak muncul secara tiba-tiba. Perubahan pertama bermula tatkala pemerintah menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Peraturan ini menjamin kebebasan PTN dalam hal penyelenggaraan akademik, otonomi keilmuan, dan keuangan.
Singkatnya, ada tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang masuk sebagai badan hukum milik negara (BHMN) hingga tahun 2006. Kemudian pada tahun 2010 ketujuh PTN BHMN tersebut menjadi perguruan tinggi badan layanan umum (BLU). Pada tahun 2012, keluarlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Tujuh PTN itu berubah status menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH).
Kebijakan tersebut diikuti dengan perubahan bea kuliah dari sistem bayar per Satuan Kredit Semester (SKS) ke uang kuliah tunggal (UKT) di tahun 2013. UKT menghapuskan uang pangkal untuk mahasiswa jalur reguler dan merupakan upaya meratakan tarif kuliah. Keleluasaan yang diberikan oleh status PTN-BH membuat kampus-kampus menaikkan UKT mereka dengan dalih kenaikan biaya operasional.
Biaya yang semakin tinggi membuat orangtua memperlakukan universitas sebagai pemberi jasa akreditasi pendidikan dan mahasiswa sebagai pembeli jasa. Para dosen ditekan untuk memberikan nilai lebih tinggi atau memberikan kelonggaran mahasiswa untuk menambal nilai. Sementara mahasiswa melakukan praktek “belanja mata kuliah”. Mereka sengaja mencari mata kuliah “mudah” untuk menaikkan IPK.
Dosen juga diwanti-wanti dengan sistem Evaluasi Dosen oleh Mahasiswa (EDOM). Di UIN Jakarta, hasil penilaian ini menentukan tunjangan yang diterima dosen. Sistem membuat mahasiswa berpotensi memberi nilai baik pada dosen berdasar predikat nilai yang mereka terima. Itu belum membicarakan tekanan kampus ke dosen untuk mempertahankan nilai akreditasi dan gengsi kampus. Faktor eksternalnya adalah pasar kerja yang semakin kompetitif dan menuntut IPK tinggi. Mengikuti logika pasar tadi, pihak kampus akhirnya memberikan kompensasi berupa katrol nilai.
Penelusuran kami di tahun 2024 via aplikasi situs pencari kerja indeed.com menunjukkan 64,5% perusahaan yang mencantumkan IPK minimal pelamar sebesar 3,5. Sebanyak 28,3% perusahaan masih membuka pelamar dengan IPK 3-3,4, dan hanya 7,2% perusahaan yang masih mau menerima pelamar dengan IPK 2,75.
Sekarang, IPK tinggi seolah sebatas persyaratan administratif. Pada akhirnya kapasitas dan kapabilitaslah yang akan menentukan.